Mengeluarkan napas dalam-dalam yang konon dapat menghilangkan rasa gugup merupakan kebohongan terbesar sepanjang sejarah manusia. Siapa pencetus sugesti tai ini? Siapa pun orangnya, tolong bawa dia ke hadapanku. Lewat segudang pengalaman yang kumiliki di bidang tarik napas, akan kuajak dia berdebat dengan lagak layaknya mahasiswa berengsek yang urung mengalah ketika presentasi di kelas.

Empat jam kuhabiskan berdiam diri di kamar ini tanpa melakukan aktivitas apa pun selain tersengal-sengal. Dalam kurun waktu tersebut, aku sudah menghirup napas dalam-dalam sebanyak 74 kali—bukan berarti aku menghitungnya; aku tidak seiseng itu. Efeknya nihil. Aku masih gugup. Masih saja panik.

Aku punya pacar. Dia telah pergi. Aku tahu dia sudah pergi. Masalahnya kadang aku lupa.

Susah tidur aku akhir-akhir ini. Mataku bengkak dan keriput, persis seperti buah mangga busuk. Berbagai cara telah kucoba demi terlelap, mulai dari menghitung domba berjalan hingga membuat kaligrafi arab. Sia-sia yang kudapat.

Hal yang dapat membuatku tidur hanyalah satu, yaitu menyebut namanya dan mengingat-ingat aroma tubuhnya. Sayang jika itu kulakukan, konsekuensinya pun terbilang berat: sesak napas.


Namamu selalu kubisiki
Dalam tidurku, dalam mimpiku
Setiap malam~

Hangat tubuhmu melekat di kulitku
Beribu peluk, beribu cium
Kita lalui~


* * *

Aku tengah menarik napas untuk yang kesekian kalinya ketika pintu depan tiba-tiba terbuka. Heran, seharusnya itu menimbulkan bunyi, mengingat kondisi pintu rumah ini yang sudah tak bisa dibilang bagus.

Tak lama teka-teki pun terjawab. Menghilangnya suara pintu ternyata disebabkan oleh suara keras mulut yang menirukan outro lagu Mungkin Nanti dari Peterpan.

Teng neng neng ... teng neng neng deng jes ... teng neng neng ...

“Anjir suram amat. Serius dari tadi gak ke mana-mana, bro?” ucap sang Seniman Mulut.

“Gak,” jawab pria yang bercita-cita membunuh si Seniman Mulut.

Namanya Ade, teman sekontrakan sekaligus partner kerjaku—kebetulan kami punya bisnis kecil-kecilan. Ade juga sahabat baikku sejak kecil, walaupun ada momen tertentu di mana aku dengan senang hati ingin menampar kedua pipinya menggunakan telapak tangan yang sebelumnya kuolesi balsam Geliga—salah satunya saat dia menirukan suara gitar. Aku cukup beruntung karena hari ini dia memilih lagu Peterpan, bukan Guns N’ Roses yang selama ini sukses mengubah perangaiku seperti Sumanto, pelopor kanibalisme Indonesia.

Sehabis dari kamar, Ade bergabung denganku di ruang tengah dan langsung menyalakan televisi. Di rumah ini ada semacam aturan tak konkret di mana dia berperan sebagai navigator saluran yang kami tonton. “Waduh, ada apa nih, bro? Tumben cemberut aja.”

Tumben cemberut aja.

Aku lupa memberitahu. Selain memainkan gitar dengan mulut, dia juga punya kebiasaan lain yang membuatku jijik setengah mampus. Setiap kali berbicara dengan lelaki dewasa, Ade selalu menggunakan istilah-istilah sinetron yang sebetulnya lebih pas diucapkan pada pacarnya. Hari ini “Tumben cemberut aja” dia pakai, kemarin-kemarin bahkan lebih parah. Dia berkata, “Good night, bro” padaku menjelang kami tidur.

Aku punya pacar. Dia telah pergi. Aku tahu dia sudah pergi. Masalahnya kadang aku lupa.

Tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV, aku menunjuk amplop yang tergeletak di atas meja. Benda yang menyebabkanku sejauh ini mengeluarkan napas dalam-dalam sebanyak 75 kali. “Tadi siang dapet kiriman euy.”

“Apa ini?” tanya si Ade.

“Jangan banyak nanya, tai. Buka aja.”

Isi amplop itu sepele, sebetulnya. Hanya selembar kartu yang memberitahukan bahwa aku diundang dalam sebuah ritual sakral. Masalahnya, aku sangat mengenal dekat si pengundang. Dia cenderung melegenda di pikiranku.

“Anjir! Parah pisan ini mah. Sabar, bro.” Ade nampak prihatin. Rupanya masih ada rasa solidaritas dalam dirinya.

“Yoi. Gak habis pikir aja, bisa-bisanya dia ngundang saya ke nikahannya.”

“Bukan. Maksudnya parah, orang yang ngasih undangan kagak nyantumin alamat lengkap rumah kita, bro. Masa iya cuma ditulis ‘Di tempat’ aja. Yuhu!”

Kupandang wajah temanku itu dengan tatapan yang kubuat seramah mungkin. “De,” kataku.

“Ya?”

“Anjing.”

“Sori,” katanya, ketawa. “Bercanda. Kali aja bisa nyairin suasana.”

Memilih Ade sebagai teman curhat bukanlah keputusan bijaksana. Kurebut kertas itu dari tangannya, lalu kubaca lagi untuk yang kesekian kalinya. Ada satu kalimat yang menarik perhatianku:

MOHON MAAF BILA ADA KESALAHAN PENYEBUTAN NAMA, GELAR DAN ALAMAT.

Rupanya selain tidak menyebutkan alamat kontrakan kami—sebagaimana Ade bilang—mereka juga luput menuliskan gelar, yang mana seharusnya ada kata ‘PECUNDANG’ di belakang namaku.


Tapi kau kabur
Dengan duda anak tiga
Pilihan ibumu~


Jauh sebelum kartu undangan ini sampai ke tanganku, aku sudah mengetahui kabar pernikahan mereka. Mereka, yang tak lain tak bukan adalah pacarku sendiri dan lelaki berumur setengah abad. Pedofilia!

Semua berawal dua bulan lalu ketika Nanda—sahabat pacarku dan sahabatku juga—membeberkan satu rahasia yang mestinya tidak dia bocorkan. Mungkin dia lebih ingin mengasihaniku ketimbang mempertahankan janjinya pada pacarku.

“Iya serius, sama om-om. Duda, lagi. Katanya sih udah punya anak tiga.”

Nanda, makasih atas infonya. Kuhargai bantuanmu, tapi alangkah lebih baik kalau kamu mau melewatkan rinciannya.

“Oiya,” Nanda melanjutkan, seakan tak menghiraukan raut mukaku. “Ada unsur dorongan juga dari ibunya. Makanya dia mau.”

Pacarku, yang beberapa hari sebelumnya mengirim SMS berisi “Oke deh, Yang, semangat ya kerjanya,” dan kubalas dengan “Sip, kamu juga harus semangat. Hehe,” akan segera menjalin rumah tangga bersama seorang pria yang bertampang 97% mirip Hannibal Lecter.

* * *

Biar kujelaskan tentang si Hannibal ini.

Asal tahu saja, kami tidak saling kenal. Terkutuklah hidupku jika aku mengenalnya. Kalaupun iya, aku akan langsung menjual ingatanku seharga dua batang rokok. Namun aku pernah sekali bertemu dengan duda beranak tiga itu—pertemuan yang nanti akan kuceritakan. Ada dua alasan mengapa aku menyebutnya Hannibal: (1) Dia memang mirip Hannibal Lecter. Ini fakta, sudah teruji kebenarannya melalui riset yang dilakukan para ahli anatomi di kepalaku. (2) Aku tak tahu dan tidak mau tahu siapa namanya.

Ya, setidaknya sampai hari ini. Betul-betul sial, di kartu undangan tercetak jelas identitas asli si Tuan Hannibal. Dia bernama Agia Aprilian. Siapa sangka nama sebagus dan sekeren itu tidak berbanding lurus dengan wajah sang pemilik. Tapi untung, minimal aku bisa sedikit tersenyum ketika melihat foto pre-wedding yang terlampir di dalamnya. Meski para penata rias sudah merombak penampilan Bapak Agia sedemikian rupa, mereka tetap tidak mampu memanipulasi mimik itu—mimik seorang pembunuh berantai periode ‘90-an.


Hatiku hancur
Berserakan, berhamburan
Kayak jeroannya binatang~


Pertemuan itu terjadi begitu cepat, sekitar seminggu pasca Nanda membeberkan apa yang kukira mitos belaka.

* * *

Aku melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa menuju area parkir sebuah mal setelah sebelumnya berhasil membawa pulang berbagai macam barang diskonan. Dan di sanalah ia. Wanita favoritku sepanjang masa—yang secara teknis masih sah berpacaran denganku—berjalan ke arah pintu lift yang baru saja kulewati. Dia terlihat tengah membopong miniatur tokoh Star Wars berukuran jumbo. Seperti biasa, hari itu dia tampak cantik. Tanpa pikir panjang kuhampiri gadis itu dan membiarkan kunci motor tergantung.

“Hei,” sapaku, yang seketika mengubah ekspresi mukanya.

“Hei,” katanya, menjawab dengan suara yang kuanggap terlalu melengking. “Kamu ngapain di sini?”

Suasana sempat hening. “Aku habis belanja buku. Denger-denger katanya kamu mau nikah, ya?” Kalimat terakhir yang resmi menobatkanku sebagai manusia paling bodoh sedunia.

Dia urung menjawab. Tangannya semakin erat memegangi miniatur Star Wars.

“Bener?” tanyaku lagi, kali ini dengan tegas.

“Iya.”

Tet tot! Maaf, jawaban Anda salah.

Adrenalin ini terpacu. Siluman Kemarahan telah mengambil alih otakku. “Kamu mau nikah! Nikah sama om-om gitu lho. Om-om yang udah punya anak tiga. Ciee jadi pengantin!”

Pacarku menundukkan kepalanya. Kepala yang dulu senantiasa kubelai secara perlahan.

“Heh, jaga omongan!”

Itu suara Yoda, si tokoh Star Wars.

Miniatur bisa bicara.

Oh, manusia itu rupanya.

“Ente siapa?” tanyanya. Sengit.

Kuteliti penampakan lelaki di hadapanku ini dengan saksama. Bajingan yang sekarang kuketahui bernama Agia. Badannya tambun, rambutnya habis, umurnya sekitar lima puluh tahun (pedofil!), tatapannya meledek, sikapnya angkuh, dan yang paling mencengangkan dari semua itu: dia bernapas.

Ah, satu lagi. Dia condong lebih mirip Hannibal Lecter ketimbang Yoda.

Apa hebatnya orang ini, sampai-sampai pacarku setuju menikahinya? Aku, yang notabene baru beberapa menit melihatnya, sudah muak setengah mati. Dan mungkin bukan cuma diriku saja. Aku yakin ibu dari pacarku pun—orang yang menjodohkan mereka—tak sanggup berlama-lama menatapnya. Besar kemungkinan ketiga anaknya pun berpikir demikian.

Karena cintakah? Omong kosong. Baru kemarin dia menyebutku “Yang” via SMS. Aku ingin tahu seberapa istimewa calon suaminya.

Soal penampilan, aku mengaku kalah. Tuan Hannibal mengenakan kemeja Armani biru, dilengkapi dengan jas dan sepatu bertaraf internasional (+15); aku memakai kaus Proshop (0). Dalam hal aksesoris tangan, aku kalah lagi. Dia punya jam tangan emas merk Swiss Army (+8); aku punya gelang tangan reggae (–10).

Oke, keunggulan Pak Tua Hannibal cukup sampai di situ. Rambutku tertata rapi dan klimis layaknya Marco Reus (+20), sedangkan si Hannibal botak (–30). Mari kita bahas perihal tampang. Jujur, aku memang tidak rupawan, tapi setidaknya mukaku tidak mirip penjahat yang ada di film Silence of the Lambs (+5); sainganku mirip penjahat yang ada di film Silence of the Lambs (–999).

TOTAL PEROLEHAN POIN
Aku: 15
Om Hannibal: –1006

Euforia tak berlangsung lama. Aku lupa memperhitungkan aspek benda yang sedang kami pegang. Di tangannya terdapat kunci mobil BMW yang harganya mencapai ratusan juta. Berbanding terbalik denganku; tangan kiriku sedang memegang satu novel berjudul Flip-Flop karangan Dori Irbana, yang kurang lebih menceritakan peliknya hubungan jarak jauh sepasang remaja.

Ini semua tentang harta.

Hannibal berengsek menang telak.

Tanpa menggubris pertanyaan si duda, aku melirik ke arah pacarku. “Ini maksudnya apa? Ngomong.”

Orang-orang sekitar mulai menyadari ketegangan kami. Mereka tampak tertarik dengan adanya plot fantasi ini. Merasa malu, pacarku bergegas meninggalkan jejak TKP. Kutarik tangannya, pelan.

Aku punya pacar. Dia telah pergi. Aku tahu dia sudah pergi. Masalahnya kadang aku lupa.

Agia naik pitam. Wajahnya memerah, matanya menatapku tajam. Melihat pemandangan ini, aku jadi teringat film Final Destination, di mana si tokoh utama dapat merasakan tanda-tanda munculnya Kematian. Dalam situasi ini aku berperan sebagai Alex Browning. Dia sebagai Kematian.

Kemudian dia menggonggong dalam bahasa Sunda, “Sia ulah piomongeun! Sakali deui sia macem-mac–”

“Oi, Hannibal,” bentakku. Akhirnya mulut ini setuju untuk memanggilnya dengan nama itu. “Kamu diem, ya. Kalo gak mau diem, minggat sana. Ngopi di Starbucks.”

“Udah, A, udah. Malu diliatin orang.” Pacarku mencoba melerai.

Oh, rupanya dia dipanggil “Aa”.

Sayang, kumohon panggil dia botak!

“Kamu juga,” dia berbalik menatapku. “Pulang sana. Nanti aja kita ngomongnya.”

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Lingkungan semakin ramai. Sebagian menonton, sebagian lagi berpura-pura tidak menonton kami.

“Kamu maunya apa, sih? Aku kan tadi udah bilang. Iya, aku mau nikah.”

Pertanyaan yang sungguh menarik. Apa sebetulnya mauku? Jawabannya mudah: aku sungguh ingin mengunci calon suaminya itu di kamar mandi. Kamar mandi yang terletak di sebuah bangunan Belanda. Bangunan Belanda yang sudah tidak berpenghuni selama ratusan tahun. Bangunan Belanda yang di dalamnya terdapat lukisan seorang perempuan tersenyum.

“Kenapa?” Hanya itu kata yang keluar dari bibirku, walaupun aku tahu balasannya seketika akan membuat hati hancur.

“Aku pengen berkomitmen.” Dia kelihatan ragu sejenak. “Sama orang yang serius,” tambahnya.

“Oh, berarti aku gak serius, ya? Puluhan kali aku dateng ke rumah kamu, diajakin ngobrol politik sama ayah kamu, dipelototin ibu kamu setiap kali aku bilang ‘Assalamualaikum’ di depan pintu, ngebatalin janjiku ke temen demi bisa jalan-jalan sama kamu. Maaf, kalo aku belum cukup serius.”

Dia memalingkan wajah. Posenya persis dengan foto yang kusimpan dalam dompet.

“Kamu,” lanjutku, “milih orang lain cuma karena aku belum punya prospek jelas. Sekarang gini, kita udah sering bahas masalah ini. Kalau kamu masih—”

“Aku cuma realistis!”


Ya sudah
Kumenangis seadanya
Sekuat tenaga~

Ya sudahlah
Kau memang setan alas
Tak punya perasaan
Ancur~


Teriakannya itu spontan membuat orang-orang yang tadinya berpura-berpura menonton, menjadi penonton asli. Pacarku akhirnya mengakui motif sebenarnya. Semula kukira si Hannibal akan tersinggung dengan pengakuan ini, tapi nyatanya tidak. Dia malah tersenyum puas memandangiku. Pedofil.

“Realistis?”

“Kamu enggak akan ngerti.”

“Ngerti apa?” Aku.

“Wanita juga berhak milih.” Dia.

“Milih om-om ini, maksudnya?” Aku.

“Aku cuma bisa bilang maaf. Nanti aku jelasin semuanya.” Dia.

“Oke. Moga langgeng sama si botak.” Aku.

“Naha ari sia euy kalakuan teh!” Hannibal Lecter.

Seluruh masyarakat lapangan parkir bergegas mendekati area tempat kami berdiri. Dalam hitungan detik, TKP telah dipadati oleh rasa panik, takut, intens. Kehebohan tak terelakan. Kerumunan terbagi menjadi beberapa kategori. Mereka yang memang berusaha melerai; mereka yang hanya penasaran; mereka yang bingung; dan mereka yang berisik.

Dia mencengkeram kuat-kuat leherku. “Sia geus sababaraha kali ku aing bejaan. Jaga kalakuan. Ceuk aing . . .”

Lagi-lagi Sunda kasar.

Aku sudah muak dengan segala yang kualami belakangan ini. Muak dengan segala ketidakmampuanku mempertahankan apa yang kumiliki. Berbicara mengenai pepatah kuno, ada satu yang kufavoritkan: tak ada api, masakan ada asap. Sayang, jangankan penyebabnya, akibat dari semua ini pun masih belum kuketahui.

Kutepis cengkeraman tangannya. Senyum. Entah kenapa bibirku tersenyum, lalu, tanpa seorang pun mengantisipasi—termasuk diriku—tinjuku tiba-tiba melayang tepat di wajahnya. Dia terkapar bagaikan mayat.

Kata-kata kasar, teriakan-teriakan perempuan, bisikan para lelaki cemen. Seluruhnya memenuhi isi kepalaku.

Dia bangkit, membalas perlakuanku padanya. Sekilas, aku melihat mulut-mulut yang ternganga, menandakan para pemiliknya sedang berteriak. Walau bagaimanapun telingaku tak dapat mendengar apa-apa. Segalanya sunyi. Sial, ini benar-benar sunyi.

Aku punya pacar. Dia telah pergi. Aku tahu dia sudah pergi. Masalahnya kadang aku lupa.

Kepalaku terpelanting ke lantai. Roboh. Hannibal sukses membuat hidungku berdarah. Aku diam. Aku tidak harus bangkit. Percuma. Mengalahkannya dalam adu jotos tak akan mempengaruhi perolehan poinku.

Selang beberapa saat, seseorang membantuku berdiri. Darah mengucur deras dari lubang hidungku. Kuamati pacarku yang sedang menenangkan calon suaminya itu. Setelah mata kami bertemu, dia berjalan cepat menghampiriku dan bersiap melontarkan mantra cacian.

“Dasar idiot!”

Dia membalikkan badan, meninggalkan tempat kejadian perkara selama-lamanya. Juga meninggalkanku. Secara permanen.

Aku tak mau melewatkan momen berharga ini. Kesempatan terakhir untuk menggila.

“Woy!” Aku memekik sekeras-kerasnya. Pacarku tak menoleh, berbeda dengan si Hannibal.

Wahai kawanku Ade, izinkanlah aku meminjam tata bahasamu. “Kalian berdua langgeng ya! Yuhu!”

Ya, aku memang idiot, Sayang. Aku idiot yang tidak akan pernah mau menjual kepercayaan orang lain hanya demi sesuap nasi dan sekeping receh.

Kupikir itulah definisi realistis.

* * *

“Jadi mau gimana? Udah diundang lho. Masa iya gak dateng.” ujar Ade, membuyarkan lamunanku. Mengembalikan jiwaku ke planet Bumi.

Aku berpikir sesaat, lalu dengan mantap menjawab, “Dateng, De. Pasti.”

“Perlu ditemenin gak ke sananya?”

“Oke, tengkyu.”

“Santai, kita kan cees.”

“Sip,” kataku, “tapi pindahin dulu acara TV, anjing. Sinetron mulu dari tadi.”


Doaku di akad nikahmu
Semoga si duda diracun orang
Biar terus mampus~

NB: Cerita ini 100% fiktif. Diangkat berdasarkan lirik lagu “Ancur” ciptaan Iwan Fals. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat maupun peristiwa, itu semata-mata karena saya keren dan menarik.

68 KOMENTAR

Blogku adalah kebebasanmu. Dipersilakan kepada para agen judi untuk berkomentar selincah-lincahnya.
SONAGIA.COMSONAGIA.COM

  1. Masa sih piktip
    G mungkin
    Apalagi ada nama agia
    Oh ternyata agia itu udah om2 beranak tiga y
    Wah mana nih undanganya buat saya, kang?
    Jotos2an bentaran duang
    Payahlah agia jatoh
    Payah huuuuh
    Katanya kamu jomlo kang
    Kok ini udah mw nikah j

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bang Niki, cek Whatsapp bang. Di situ saya ngajak berantem. Tolong segera balas untuk menentukan arena pertarungan.

      Delete
    2. berantemnya jangan tebang tangan kosong yah....nggak seru kalau tebang benjol-benjol doangan mah

      Delete
  2. Aku baca paragraf paragraf awal ngakak, Son. Si Ade sialan juga, bikin ketawa.
    kirain komedi, tapi semakin kebawah ceritanya bangkee, bikin sedih. kerenn, Son.

    "... kadang aku lupa" kalimat ini ya Allah, kenapa ini yang beberapa hari terjadi ku alami. huhuuu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tengkyu udah baca, Di. Sayang di cerpen ini gak ada adegan ngerokoknya euy. Beda sama cerpen-cerpen kamu yang maskulin dan keren abis.

      Waduh, lagi galau cees? Ckckck.

      Delete
  3. Brengsek kau Agia. Oh maaf.

    Aing baca pas 'teng teng Jes' pas dengerin lagu eta deuih. Pas pisan. Dasar kumpulan pecundang patah hati. :')

    Aing emosi euy, gegara si botak.

    Mungkin gara-gara memilik kisah yg sam757hdka)$8hfir67492+komentarinitifskbisadilanjutakan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tai ah apaan pake minta maaf segala..

      Anjir si eta bahasana euy, kumpulan pecundang patah hati.

      Itu kode apa maksudnya, DIAN KEHED?!!!

      Delete
  4. Agia Hannibal. Duda beranak tiga. Parah euy.
    Ini tulisannya kok terasa kayak non fiksi ya. Mirip kejadian nyata yang kamu alami bang:(

    Ya Allah sedih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak lah beda anjis. Ini mah cerita boongan :(

      Lebih sedih si Darma, Lan. Cintanya kau sia-siakan hihi

      Delete
  5. CERPEN INI BIKIN NGAKAK! ADE YUHUUUU BANGKE! NB3 ITU BANGKE! AGIA EMANG (MAAF) TAI!

    Hahahahaa. Cerpen ini sungguh menghibur. Dan tai. Itu apaan coba Hannibal Lecter sama Yoda dibawa-bawa njiiiiiir..... Trus nama pedofil itu pake nama kamu pula. Hahahahahaha. Fix Agia ternyata punya bakat pedofil terpendam.

    DAN ITU KENAPA NAMA TOKOHNYA PAKE NAMA NANDA..... HMM BENAR-BENAR. Oh iya, itu kenapa ya nama pacarnya nggak disebutin? Nama tokoh "Aku" kayaknya juga nggak disebutin deh. Jadi penasaran dan pengen menebak-nebak. Jangan-jangan.... nama dua tokoh itu Yuliana dan Yulianto.

    Ups. Dua nama itu kesebut. Terutama nama pertama. Kesebut lagi. Itu, si Yuliana. Eh. Kesebut lagi. Maafkan aku ya, adek ipar. HUAHAHAHAHA.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu apa maksudnya pake tanda kurung segala. Harus ya? Ah dasar, Icha emang (maaf) Tina Toon!!!

      Kamu tahu Yoda juga, Kakak ipar? Emang suka star wars? Enggak, aku bukan pedofil. Umur Agia sama Nanda cuma selisih (mungkin) 5-6 tahun aja kok. Ha ha.

      Nama tokoh aku dan pacarnya sengaja gak disebutin. Karena... Pikirkan sendiri!

      Yuliana itu siapa, ya? Aduh aku jadi dibuat penasaran gini sama kakak ipar. Kakak Ipar terbaik se-Kalimantan.

      Delete
  6. Ini hiburan banget sih. Mwahaha. Tapi yang statement ini "Aku punya pacar. Dia telah pergi. Aku tahu dia sudah pergi. Hanya saja kadang aku lupa" kok bikin keki ya :"(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya udah nyempetin baca, Put. Oiya btw, keki itu apa sih?

      Delete
  7. baca judulnya dan lalu baca awal dan akhirnya...malah jadi bingung sendiri..ya udah deh pokoknya mah satu plot lagu ancur ajah lah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip lah, Mang Lembu. Pokoknya mah satu plot lagu ancur. Hidup! 8-)

      Delete
    2. ahihihii....abisnya panjang banget sih

      Delete
  8. Aku udah baca ini, eh tapi lupa komen ternyata. Wahaha. Duh, jadi kangen bikin cerpen gini euy. :))

    Gue belum nemu temen cewek yang rela ninggalin pacar demi cowok tajir punya mobil apalagi tua dan udah om-om mirip Hanibal gitu, sih. Syukur ini fiksi, ya. Hm, tapi bisa jadi ini pengalaman Akang Agia, yak? :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah iya udah lama nih gak baca cerpennya Yoga.

      Yoi, dari kalimat pertama aja udah ketauan kok, cerpen ini bakalan semu-semu sinetron gitu. Banyak gak masuk akalnya. Dramatis sekali yuhu.

      Delete
  9. Satu kata:

    "Taeklah maneh"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha ha... Setan Bang Fei malah ngehina!

      Delete
    2. ngehina itu emang salah satu hobi gw sih. jadina kudu gimana urang?

      Delete
  10. Yang menjadi teka-teki, siapakah nama si aku? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tadinya mau dikasih nama The Undertaker, Roz. Tapi gak jadi.

      Delete
  11. Jadi pengin berkata kasar, tp tetep harus jaga image, maka hmga jadi deh...
    Son b**g*e ceritanya oke oce

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaaaah, padahal aku pengen liat kamu ngomong kasar, Lus :(

      Oke makasih ya. Lagi iseng-iseng nih bikin cerpen.

      Delete
  12. agia, aku bingung mau komentar apaan :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe santai, Ben. Ini cerpennya juga emang ngebingungin kok.

      Delete
  13. Serem pake banget
    Tapi kocak

    AHAHAHHAHAHAHAHAH

    " Doaku di akad nikahmu Semoga si duda diracun orang Biar terus mampus~"

    EBUSET

    Hahahhahahahahahhahaha

    ReplyDelete
  14. Ini pasti pengalaman pribadi tapi dijadikan fiksi kan cees? Udah ngaku aja gapapa kok.

    Novel flip-flpo karya dori irbana paling taek :))

    Mantep cees cerpennya yuhuuuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini fiksi! Tolong Anda mengerti ya!

      Sip tengkyu cees hahai.

      Delete
    2. Wah dia masih ngeles aja nih yog. Hmmmmm.

      Delete
  15. si hannibal lecter itu bukannya ganteng ya son? eh lupa tampangnya hahaha mestinya diaplod juga dong poto dia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, gak tau deh kalo menurut cewek. Kalo menurutku selaku cowok sih, nyeremin.

      Delete
  16. Dori Irbana. Ukhuk!

    Ini cerpen bagus. Bikin sepuluh lagi yang begini, TERBITKAN!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ukhuk. Batuk dari sang filsuf.

      Iya nih lagi iseng pengen bikin cerpen. Udah lama soalnya.

      Delete
  17. Agak susah menentukan genre cerpen ini ya, Kang. Tapi saya yakin ini ditulis based on Agiaditinggalnikah story.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini genrenya punk, Kang Rido. Genre baru di dunia literasi. Ha ha.

      Delete
  18. kenapa pula nama tokohnya nanda*seperti adeknya icha #ehhh
    hahhaha sempet2nya malah mikir ga ada gelar ama alamat kontrakan di undangannya, itu kawinan mantan woy kawinan mantan...
    kok aku ngebayangin tuan hanibalnya malah kek limbad gitu yah, apa yoda idol bukan yoda starwars huhuhu
    bagus cees pilihan diksinya, kuakui keren emang, terstruktur gitu
    ah jadi pengen nulis cerita fiksi juga aku mah anaknya suka ikut-ikutan
    oiya blog filmku masih update ko gi hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha kenapa jadi ke limbad. Duh jadi keinget burung hantunya.

      Wah ditunggu ya cerpen, Teh. Ayo bikin! :)

      Delete
  19. emang aroma tubuhnya kaya gimana? :>)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wangi deh kayaknya. Yang jelas sih enggak bau spirtus.

      Delete
  20. ((Dori Irbana)) :)) Udah nggak usah sedih. Gakpapa.

    Kalo itu lebih serem dari "Tumben cemberut aja" nggak son? \:p/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lumayan lah cees bisa nyaingin janggalnya kalimat itu.

      Delete
  21. Ini teh 100% fiktif atau ada pengalaman nyata nya akangg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fiktif dong, ceesku Aul. Ya sama lah seperti rasa sayang si doi ke kamu. Fiktif.

      Delete
  22. Aku sih percaya kalau ini fiktif.

    tos duls dong cees!

    asli, cerpennya bagus. aku bisa ngerasain perasaan si cowok yang ditinggal nikah sama duda beranak pinak.

    tenang cees, kebetulan aku ikut bantu-bantu diacara nikahan mereka, nanti biar kubantu kasih racun di minumamn mempelai prianya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ini baru keren,percaya kalo kisah di atas fiktif. Ha ha.

      Bantu-bantu jadi apa di sana, Put? Wali nikah ya? Hmmm tua..

      Delete
  23. kak kak
    Kalo om om nya kayak keanu reeves mah kamu wajar ditinggal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha iya sih kayaknya. Ada kemungkinan bener..

      Delete
  24. Bukan fiktif ini. Nyata mah kayanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Diam atau enyah saja kau sana, Abang Wakdoyok!

      Delete
  25. fiktif ato fakta,,
    intinya jomblo akut,,,hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah betul juga nih hipotesisnya. Makasih atas petunjukmu cees 8-)

      Delete
  26. Nak kapan kamu gak gila? Tolong minum obat nak, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beliin dong bang obatnya. Apotek di tempatku pada tutup nih soalnya..

      Delete
  27. Perolehan poinnya beda jauh banget ya, Mas..hehe
    Karena penasaran sama Hannibal Lecter, aku tanya si mbah google, jadi itu orangnya.he

    Serem ceritanya, tapi untungnya aku baca dipagi hari.. Setidaknya serasa biasa saja..hehe

    Kapan ya terakhir jalan2 disini, lupa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rajin sekali kamu cees, sampe search di google segala. Awas jangan di-print ya fotonya, apalagi disimpen di dompet.

      Tuh kan betul-betul rajin cees Andi ini, suka blogwalking di pagi hari :)

      Delete
  28. turut merasakan perihnya.
    hehe..
    aku juga pernah ditinggal nikah, atit sih, kesannya jeleeek bgt, tapi yakin aja, org baik akan ketemu yg lebih baik, uhuuyy.. that’s true

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe bener banget mbak. Katanya, semakin besar arti kehilangan, maka semakin keren pula penggantinya.

      Tengkyu sudah mau-maunya baca, Mbak Lia.

      Delete
  29. Menarik napas dalam-dalam yang konon dapat menghilangkan rasa gugup adalah kebohongan terbesar sepanjang sejarah manusia.

    Gue rasa ini ada benernya juga loh. Gue sih sering gitu. Ya gak 100% sih. Hahaha

    ReplyDelete
  30. pas baca bagian akhirnya, kok kzl ya...

    Bacanya udah serius-serius, dari atas sampai ke bawah, eh ternyata sinetron hahaha bangke! X)
    Tapi perihal kasus ditinggal nikah, kayaknya saya punya tulisan yang satu genre "Ditinggal nikah" nih linknya --> www.sastraananta.com/2017/03/surat-dari-warsawa.html?spref=tw

    ReplyDelete
  31. Ini kirain bukan fiksi, soalnya pas awal2 baca kayak kisah nyata di hidup.jaman sekarang gitu. Apalagi banyak umpatan.wkwk Good job..

    ReplyDelete
  32. Ini dongeng apa cerpen sih ...
    ah kau..membuatku bergairah... wkkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  33. sugesti menarik napas = sugesti tai
    menarik napas = tai
    hmmm
    mau tidur buat kaligrafi arab. kok gue kzl yha

    duh~ memilih om-om anak tiga :( menang banyak om-omnya
    semoga beneran 100% fiktif dan tidak dibumbui curhatan hati ya, cees wqwq

    ReplyDelete
  34. ini fiktif pasti, yakan yakan yaakann, iyaaainnn :(

    ReplyDelete
  35. Yakin bukan fiksi bg Son ;) ??? hehe

    ReplyDelete
  36. TRADING ONLINE
    BROKER AMAN TERPERCAYA
    PENARIKAN PALING TERCEPAT
    - Min Deposit 50K
    - Bonus Deposit 10%** T&C Applied
    - Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover

    Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com

    ReplyDelete