Siang itu, langit Minggu tampak sedang cerah. Sayangnya, cuaca ini malah bikin saya berkeringat. Akibatnya, rambut dan wajah saya lengket oleh cairan Gatsby Pomade yang harganya kalo gak salah mencapai dua puluh lima ribu. Apa motivasi saya memakai minyak rambut? Entahlah.

Saya tiba di lokasi sekitar jam sebelas. Di sanalah kami janjian. Tempat yang dulu menyajikan berbagai macam pengalaman dan kenangan selama kurang lebih empat tahun. Kampus.

Jika dilihat dari ekspresi wajah, saya bisa menyimpulkan bahwa mereka sudah duduk dan menunggu cukup lama—mungkin sejam, atau bahkan dua hari. Ada Tegar & Teguh (si kembar identik); Anggita; Ade Lestari; Ai Royati (alias Raisa); Desi dan pacarnya yang mirip Uya Kuya; lalu ada Dini Jenong bersama pacarnya yang mirip......errr.......mirip...... Yadi Sembako? Sip.

Bercanda, Des, Nong.

Saya menyalami orang-orang ini satu persatu, diikuti dengan seruan kemarahan yang meluncur dari mulut mereka.

“Meni lama ih!” kata Anggita.

“Iya, kita udah dari tadi.” Ai Royati.

“Yang lainnya masih di mana, Son?” Tegar.

“Sekarang nunggu siapa lagi emang?” Dini Jenong.

“Tapi UMR sakitu mah termasuk leutik euy. Beda jeung di Karawang.” Pacar Desi dan Pacar Dini.

Ternyata setelah sekian lama, kebiasaan ngaret belum juga hilang. Datang terlambat adalah ciri khas sekaligus bidang yang sejak dulu kami kuasai. Belum sempat saya mencari tempat duduk, Teguh/Tegar—gak tau yang mana, susah bedainnya—bilang gini ke saya: “Son, si Andri lagi di kosannya mungkin. Coba susul.”

Mau gak mau saya pun pergi.
Catatan: Andri merupakan satu-satunya di antara kami yang masih ngekos dan hidup di lingkungan sekitaran kampus. Singkat kata, dia belum lulus.

Begitu sampai di sana, saya langsung menggedor pintu kamarnya. Beberapa kali saya teriak, gak ada sahutan sedikit pun. Merasa putus asa, saya beralih ke kamar sebelah untuk menanyakan keberadaan kawan saya itu. “Andri? Ada, Kang, di kamarnya,” jawab si penghuni.

Dan memang benar. Ketika pintu kamarnya saya buka, nampak Andri sedang duduk bersila di kasur sambil melotot ke arah saya. Matanya sangat, sangat merah. Mirip orang yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk berpesta sabu-sabu dan miras. Melihat penampakan ini, saya refleks memasang kuda-kuda Taekwondo, jaga-jaga barangkali dia mau ngajak berantem. Tapi anehnya, si Andri masih aja duduk dan melotot. Selang satu menit, barulah saya menyadari apa yang sebetulnya terjadi. Dia bukan habis berpesta sabu-sabu ataupun hendak menantang Agia berkelahi. Andri Salman, mahasiswa Sosiologi semester tiga belas, baru saja bangun dari tidurnya.

Nice.

“Eh anjing,” bentak Agia, si pria ganteng dan menawan. “Itu anak-anak udah nunggu di kampus. Siap-siap, cees.”

“Uh-uh, hmmm.” Si tai bergumam.

“Buru atuh sia teh!”

“Nya, mandi heula.” Dia bangkit dan beranjak ke WC.

Dikarenakan sejak pagi belum ngopi, saya bergegas meninggalkan tempat itu menuju Warkop terdekat. Batang demi batang rokok saya hisap dengan nikmat, sampai akhirnya, chat demi chat dari grup WhatsApp membanjiri pemberitahuan handphone.

Desi: Lagi pada di mana?! Ngareeeeet.
Bambang: Hampura barudak, saya gak bisa dateng ke sana. Nitip doanya, ya.
Asep: Tai ente, Bang.
Jenong: Di mana? Lama!
Desi: Samping kamu 😊
Anggita: Son di mana? Buru ih lapar.
.................

Setelah menghabiskan dua gelas kopi dan delapan gorengan, saya memutuskan untuk kembali ke kampus. Sudah saya duga, komposisi tidak banyak berubah. Cuma si Asep Jumanji yang menambah jumlah keanggotaan kami. Untungnya, tidak lama kemudian, muncul tiga orang lagi. Ada Dida Limbad, yang datang jauh-jauh dari Bekasi. Ada Deri Ugoy, yang sekarang berambut botak dan terlihat amat menjijikan. Adapula Andri Salman, yang sesaat sebelumnya melototin Agia Aprilian secara tajam.

Tanpa menunggu lebih lama, kami pun berangkat. Sebagian naik mobil pribadi (yang disopiri suaminya Ai Raisa), sebagian lagi mengendarai sepeda motor.

* * *

Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan ke sana, saya berusaha agar selalu memposisikan diri di depan motor Desi dan Dini. Yoi, saya lagi males ngeliat adegan pelukan di jalan raya. Sensasinya aneh gitu lho.

Berhubung hujan turun cukup deras, kami terpaksa menghentikan laju kendaraan. Kalo gak salah, saat itu kami sudah sampai di wilayah Pacet. Atas saran dari Tegar, kami berteduh di warung sekitar. Dan atas biaya dari Tegar juga, kami memesan kopi sebanyak-banyaknya. Momen rehat ini kami manfaatkan untuk mengobrol ria. Berbagai jenis topik dibahas, mulai dari yang sepele (contoh: mengenang kejadian-kejadian tertentu semasa kuliah), sampai ke hal yang sama sekali tidak berguna (contoh: cerita kronologis pencukuran rambut Deri di Barber Shop, sekaligus memaki-maki tukang cukurnya).

“Aing mah kapok ah dicukur di tempat eta. Demi Allah kapok,” keluh Ugoy.

“Eta mah geus masuk ka ranah mal-praktek, cees.” Andri.

“Bawa weh ka jalur hukum, Goy.” Saya.

“Setuju.” Asep Jumanji.

“Sekarang Donald Trump jadi presiden Amerika. Kurs rupiah dijamin bakalan jeblok.” Pacar Dini ke pacar Desi.

Hujan surut, kami melanjutkan perjalanan. Oiya, di titik ini, personel kami telah bertambah sebanyak dua orang, setelah sebelumnya si Akew dan Teh Nining nyusul dari belakang.

* * *

Oke! Akhirnya tiba juga di lokasi.

Ternyata di sana sudah ada beberapa sosok familier yang tiba lebih awal: Agus Kuda, Fadli Jenglot, dan Coki. Di antara mereka bertiga, cuma Agus Kuda yang tidak membawa pasangan—atau dengan kata lain, dia independen. Sebuah fakta yang tidak mengherankan, tentu saja.

Walaupun kami datang agak sorean—sekitar pukul tiga—suasana terbilang masih meriah. Lantunan lagu dangdut menyeruak keras ke segala penjuru. Para tamu undangan berbondong-bondong memadati TKP. Alasan mereka ada di sini adalah alasan kami juga. Sebab di tempat dan momen inilah, kami akan segera menjadi saksi bahagianya dua sejoli. Ini merupakan pesta pernikahan sepasang pengantin yang, kami kenal bukan hanya dari satu pihak saja, melainkan kedua-duanya. Maka sudah sewajarnya kami diliputi rasa antusias tinggi.

Diki Saepuloh dan Astri Frihartini telah bersama sejak kami menginjak semester.....aduh anjir lupa—semester tiga? Empat? Enam? Ah pokoknya mah antara segitu. Dan sejauh yang saya tahu, mereka adalah salah satu pasangan paling nyentrik yang pernah ada. Diki, dengan sikapnya yang cenderung tidak banyak bicara namun bersahaja, sangat kontras jika dibandingkan sifat Astri yang sedikit agak cerewet. Biarpun begitu, mereka sukses berduet hingga menghasilkan perpaduan yang komplet. Awalnya sekadar teman sekelas, tapi sekarang, hubungan mereka nampak sudah sangat berkelas. Saya tanya, adakah hal yang lebih baik daripada membangun suatu rumah tangga bersama seorang sahabat? Saya rasa gak ada, cees.

Sambil sesekali curi-curi pandang ke arah pagar ayu, saya beserta kawan-kawan lainnya melangkahkan kaki menuju panggung kedua mempelai. Ketika menyalami dan memberi ucapan selamat pada mereka, entah kenapa tiba-tiba perasaan saya bercampur-aduk, antara senang dan tidak percaya. Rasanya baru kemarin kami sama-sama duduk di ruangan kelas, berhadap-hadapan dengan dosen, mengerjakan tugas kelompok, curhat soal asmara, saling menghina, menertawakan satu sama lain, meminjam uang (saya yang minjem, bukan mereka). Itu semua kami lakukan hampir setiap hari. Ada begitu banyak kenangan yang sampai saat ini masih saya ingat dengan jelas. Oleh sebabnya, sulit memercayai kehidupan mereka akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebagai salah satu orang yang sangat mengenal dua orang ini, tentu saya salut sekaligus bangga.

* * *

Selepas memberi ucapan selamat, ayahnya Diki (yang kata Ugoy punya banyak kemiripan dengan Mas Adam—suami Inul Daratista) memberi komando pada kami untuk segera mengambil prasmanan. Oh tentu saja, kami langsung menyanggupi titah beliau, bahkan tanpa harus diperintah sekalipun. Dan dengan baik hatinya, Diki mempersilakan kami menggunakan paviliun rumahnya sebagai tempat bernaung. Mungkin dia cuma gak mau para tamu undangan lain menyaksikan betapa ganasnya aktivitas makan kami. Menurut hasil survei, ada lima orang yang mengalas nasi dan lauk di atas rata-rata:

1) Andri Salman—si anak kos semester 13.
2) Ugoy—si Shrek 2.
3) Dida Limbad—si kerempeng yang senantiasa lapar.
4) Teguh—yang diam-diam menghanyutkan.
5) Dini Jenong—satu-satunya perempuan yang masuk daftar ini.

Selama prasmanan berlangsung, Ugoy terus menerus menyampaikan rasa bersalahnya kepada sate sapi. Ia begitu terpukul karena hanya mengambil tiga tusuk saja. “Ah aing mah, kaduhung tadi ngan nyokot tilu.” Tapi ada yang lebih menarik dari itu. Dini, yang pada saat itu duduk di samping pacarnya, telah berhasil mematahkan mitos tentang ‘porsi makan pria lebih besar dari wanita’. Di saat piring pacarnya masih menyisakan butiran nasi, piring Dini justru sebaliknya—bersih dan berkilau. Saking bersihnya, mungkin orang dapur gak perlu repot-repot nyuci lagi. OMG, selapar itukah kamu, Nong?

Saatnya dangdutan.

Dalam rangka menghibur diri dan para penonton yang nampak sudah mulai jenuh, kami memutuskan untuk ikut bergoyang, alias blusukan. Sayang, cuma beberapa yang punya nyali naek panggung, di antaranya: Son Agia yang keren, Tegar, Teguh, Akew, Shrek, Anggita dan Desi. Saya gak habis pikir, ternyata kemampuan joget saya tiba-tiba menurun secara drastis. Ritme tangan dan kaki saya kurang sinkron dengan alunan musik. Maklum, udah lama gak berakselerasi gitu lho.

MERAH = BERANI

Agenda dilanjut dengan obrolan santai. Tak terasa waktu begitu cepat terbuang. Satu persatu para tamu undangan mulai berpamitan, hingga tinggalah kami yang tersisa. Di tengah asyiknya menertawakan si Jumanji yang sedang berfoto bersama pengantin, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan Dekol. Ia datang bersama mimik mukanya yang lempeng, bersikap seakan kemunculannya yang mendadak itu bukanlah sebuah misteri.

Sampai tiba waktunya pulang, obrolan kami teruskan. Topiknya pun semakin ngalor-ngidul. Yang semula membahas seputar keanehan fitur Instagram, berlanjut pada perjudian mengenai siapa di antara kami yang akan menikah selanjutnya. Ada yang bertaruh untuk Akew (4/3), ada yang bertaruh untuk Coki (10/11), Bahkan ada juga yang bertaruh untuk Asep (5/1). Di sisi lain, gak ada seorang pun yang milih saya, Ugoy, atau Andri.

Walau sebagian besar percakapan diisi oleh bahasan yang kurang bermutu, tapi saya bisa merasakan adanya semacam kehangatan menyelimuti kami. Kehangatan yang sudah lama tidak kami dapatkan bersama. Kami tertawa seolah-olah itu adalah tawa terakhir kami. Kami bergurau seolah-olah itu adalah gurauan terakhir kami. Tidak ada satu pun pertanyaan klise yang muncul, seperti “Sekarang sibuk apa?” atau “Kamu ke mana aja?” Itu bukan hal penting. Sebab kami semua tahu, inti dari pertemuan ini adalah pertemuan itu sendiri. Bukan untuk menanyakan kabar, bukan pula tentang kewajiban menghadiri undangan pernikahan.

Di sini, di tempat ini, kami berkumpul atas nama perkumpulan, komunitas, kelompok, golongan, atau apa pun sebutannya. Karena memang itulah yang selalu kami lakukan sejak zaman kuliah dulu. Saya amat bersyukur. Tepat di hari jadi mereka, Astri dan Diki telah men-sosiologikan kami kembali. Sangat disayangkan, memang, mengingat sebagian anggota kami tidak bisa menghadiri momen langka ini. Kendati begitu, saya percaya, dan akan selalu percaya, mereka yang entah sekarang berada di mana, pun pasti merasakan apa yang kami rasakan. Karena kami.....

Kami adalah Sosiologi kelas A.

Sosial adalah jiwa kami.

Fuck you.

NB: Kepada Diki dan Astri, saya punya beberapa saran nama nih buat anak kalian kelak. Ya siapa tahu aja bingung ngasih nama. Kalo anaknya cewek: (1) Ade Sifa, (2) Ulfa Fauzia Zahra, (3) Mentari Kusmana Dewi. Sedangkan kalo cowok: (1) Nanang Weber, (2) Didin Marx, (3) Dede Syarif Bajingan.

NB2: Biar menambah keharmonisan rumah tangga kalian, jangan lupa angkat si Andri jadi anak.

NB3: Tadi saya nanya ke Desi sama Dini. Ternyata oh ternyata, pacar mereka juga punya nama, yaitu Ade Rahmat (Dini) dan Candra Abimanyu (Desi).

28 KOMENTAR

Blogku adalah kebebasanmu. Dipersilakan kepada para agen judi untuk berkomentar selincah-lincahnya.
SONAGIA.COMSONAGIA.COM

  1. Replies
    1. Minta cewek bang. Kenalin atuh satu mah..

      Delete
  2. Itu yg baju merah sendirian j y bang
    Pantes gda yg berani bertaruh buat dy
    Udah keliatan kok
    Itu yg dipotong tim sepakbola y kang
    SAya juga kang pasti nyesel kalo cuma ngambil 3 sate doang mah
    Harusnya y ambil semua
    Kan gratis ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba kenalin dong ke temennya cewek Bekasi. Kali aja ada yang kinclong dan menarik.

      Sate apa nih ngomong-ngomong? Sate kalajengking?

      Delete
  3. Ah, rame pisan, loba Baturan kompak, anjir sesuatu pisan.. eh, btw itu si akew temennya si dilan bukan?

    PS: kalo setiap ada undangan, Agia harus kuat, kuat dan kuat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga ingat Akew temennya Dilan. Atau jangan-jangan 85% orang Bandung namanya Akew ya, Kang? Nama lengkapnya Akew Sip Bro.

      Nice.

      Delete
    2. Dian: Tapi susah ngumpulinnya kalo udah pada mencar mah..

      Kang Rido: Jadi di sini mah, Kang, kalo ada yang matanya sipit teh pasti dipanggilnya Akew. Kirain di luar Bandung juga gitu.

      Delete
    3. Akew temennya Dilan udah meninggal. Nggak baik ngomongin almarhum.

      Delete
  4. Temen kuliah kamu aneh-aneh, Son.

    ReplyDelete
  5. Temen kuliah kamu aneh aneh, son (2)

    ReplyDelete
  6. Keren amat, cees. Undangannya pake gambar Chelsea. Mentang-mentang di ambang juara, tapi gak salah juga sebenernya kalo pake Juventus. Selanjutnya akang Agia menyusul, sip?

    ReplyDelete
  7. eh rame amat itu fotonya sekelas kondangan. kelasan gue kalo ada yang nikah udah gak pernah serame itu sekarang :/

    ReplyDelete
  8. BAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA. Tay. Postingan ini bikin fantasi liarku bekerja. Mulai dari penyebab mata merahnya Andri, kenapa Asep dikasih nama belakang Jumanji, sampe ih-itu-keren-banget-sahabat-jadi-teman-silat-di-ranjang-apa-sih-rahasianya-bisa-kayak-gitu.

    Cowok-cowok ternyata peduli juga ya sama keanehan fitur Instagram. Emang yang aneh apa, Agia?

    Btw, menurutku kamu bukan males liat-orang-pelukan-di-tengah-jalan-raya-dalam-keadaan-berkendara alias kalau di sini sebutannya itu nyendok deh, adik ipar. Tapi kamu phobia. Ya! PHOBIA LIAT ORANG NYENDOK! Mhuahahaha!

    *kabur naik buraq*

    ReplyDelete
  9. Asyiklah masih pada akur gitu kelihatannya. Kalau temenku mah boro-boro. Paling cuma 4-5 orang aja yang masih bisa ngobrol dan bikin waktu terbuang.

    Kasihan ih Andri. Masa belum lulus. :(

    Kayaknya gak akan ada orang tua yang tega ngasih nama anaknya Dede Syarif Bajingan. Dede Syarif Bujangan aja. Eh.

    ReplyDelete
  10. Ih seruuuuu!
    Di kelas aku yo kok nggak ada yang jadian gitu ya. :/ Pada saling kaga tertarik kali yak -_-

    Kayanya aku harus belajar sama Ka Dini yang makannya super bersih.:"

    Btw sabar amat temen-temennya yang udah pada nunggu lamaaaa. Kalo aku sih......memilih jadi yang ditunggu aja.
    Itu makan gorengan delapan biji, laper apa gimana dah kak?

    Semoga temennya langgeng, samawa.

    Apa-apaan itu saran namanya kok ada bajingan-nya -____-

    ReplyDelete
  11. tulisannya keren cees, ntaps lah

    ReplyDelete
  12. Yaaah kok nggak ada bagian ngecengin temen dan kasih saran sesat biar kuat di ranjang? Padahal itu biasanya jadi momen sakral. :)))

    Yuk coba cek instagram kita sis, cees. (Terbawa insting dagang). Maafkan aku es. :(

    ReplyDelete
  13. itu nama untuk anak cowoknya gak ada yg lebih bangcat lg apa hehehe. lu kapan son? segerakanlah.

    ReplyDelete
  14. Atuh asik betul lahh masih bisa ngumpul reramean kek gitu pas udah lulus.
    Gue mah borooo.. Kalo ngumpul juga cuma 3 4 orang doang. Susah mahh kalo udah lulus.
    Itu temen yang belom lulus gak depresi apahhh liat temen2nya yg lain udah lulus malah udh nikah. Yawlah kesiannn...

    Atulah saran namanya cakep-cakep benerrrrr -.-

    ReplyDelete
  15. Bolak balik ke lapak ini ampe bosan gw baca postingan yg sama. Woiiiiii update woiii update.

    Gw dong udh update lagi dgn bahasa yg jauh lebih mevah yg gw kawinsilangkan dgn kelakuan absrud gw. Hahahahaa. Mampir cyussss

    ReplyDelete
  16. asep jumanji, dida limbad, agus kuda, fadli jenglot anju rahang aing

    suka iri sama yang awalnya temen, sahabat terus nikah. soalnya ditolak mulu, kehilangan temen plus kehilangan kesempatan huhu selamat Diki-Astri semoga sakinah mawaddah warohmah wabarokatuh. semoga kamu cepet nyusul cees, meski tida ada yang bertaruh untukmu

    ReplyDelete
  17. njirrrr....... saran nama anak dari elu emang bajingan!!!!
    gkgkkgkgk...

    Asyik yah bro kalau bisa kumpul2 lagi ma teman2 lama...
    Pokoknya ndak usah tanya2 sekarang lg ngapain, kerja apa, dah ML apa belom?
    sing penting ketemuan... itu baru asyeeekk...

    Muga2 lu segera kawin :)

    ReplyDelete
  18. Harusnya pas joged divideoin :p Btw, itu ngabisin 8 gorengan tapi kopinya cuma segelas, gak seret kah? Hahaha.

    ReplyDelete
  19. Untung datengnya rame-rame jadi gak ketahuan banget kalau jomblo wkwkwk

    y udah buruan nyusul

    ReplyDelete
  20. pas baca ini kemudian tiba-tiba aku inget sama temen-temenku di kampung. Mereka kebanyakan udah nikah, dan nggak satu pun dari mereka yang pernikahannya bisa aku hadiri. Ya gimana, namanya juga kuli pabrik, jangankan mau izin dateng ke nikahan temen, ke nikahan saudara aja kadang susah.
    loh kok malah curhat.

    ya gitu pokoknyamah.

    Gitu apaan? -_-

    aku kehilangan banyak momen reuni sama temen-temen karena salah sendiri aku mutusin buat merantau.

    curhat lagi.

    dah ah. wqwqwqwq

    aa Agia kok gembrot ya?

    #ditabok

    ReplyDelete
  21. selamat menempuh hidup baru diki dan astri

    ReplyDelete
  22. hemm andri, hemm anakost, hem ngedor pintu? PERASAAN GA ADA DEH YANG NGEDOT PINTU KOST KU :(

    ReplyDelete