"Mah, Pak, kenalin, ini Desi."
Semua berawal karena Thariq. Seandainya aku menolak permintaannya...
Maaf. Kesalahan ada padaku. Jika saja aku mempersiapkan segala sesuatu dengan lebih matang, mungkin situasi ini tidak akan terjadi.
* * *
"Kayaknya aku udah pernah bilang deh ke kamu. Bapakku kerja di Dinas Sosial. Kalau Mamah, dia guru SMA." Ucap Thariq, lelaki terbaik dan paling sempurna yang pernah kukenal. "Emang kenapa sih, Yang?"
"Enggak, cuma nanya aja." Jawabku ragu.
"Gak perlu gelisah gitu. Mereka gak akan makan kamu kok."
Walaupun pacarku ini adalah pemilik sifat dan senyum terbaik yang tidak dimiliki pria mana pun, namun selera humornya hanya setara dengan ibu-ibu kompleks yang sehari-harinya bergosip di depan rumah.
"Bukan gitu. Aku takut nanti malah malu-maluin. Lain kali aja deh, gimana?"
Selesai. Permintaanku tidak digubris.
Keesokan harinya, aku berdiri di depan cermin, sibuk memikirkan setelan baju yang akan kupakai. Aku harus memilih pakaian yang sekiranya bisa membuat kagum seorang petugas Dinas Sosial dan guru SMA. Aku bahkan menulis sebuah catatan mental dan meletakkannya di kepala. Pertama, di hadapan petugas Dinas Sosial, aku tidak ingin berpenampilan seperti wanita yang berdiri di pinggir jalan saat tengah malam. Kedua, di hadapan guru SMA, sebisa mungkin aku harus terlihat seperti seorang siswi yang telah memenangkan kejuaraan Olimpiade Fisika.
Sayangnya, lemariku hanya berisi koleksi baju menyedihkan. Setelah membatin cukup lama, kuputuskan memakai pakaian bernuansa krem.
Kardigan krem, celana panjang krem, high heels krem.
Tidak lupa dilengkapi dengan t-shirt berwarna hitam, agar aku tidak terlihat seperti Ninja.
Memang, ini bukan kali pertama aku bertandang ke rumah pasanganku. Walaupun begitu, terakhir kali aku melakukannya sudah sangat lama. Aku tidak habis pikir, kepercayaan diriku telah memudar secara drastis. Kemampuan untuk berhadapan dengan calon mertua seakan berkarat, persis seperti seorang ibu yang lupa cara memasak, saking seringnya membeli makanan di luar untuk anak dan suami.
Entah apa yang membuatku gugup. Mungkin ini disebabkan karena situasi dan umurku yang sudah berada pada tahap 'siap menikah'. Atau mungkin juga karena rasa takut yang enggan mengecewakan Thariq.
* * *
Aku berdiri di belakang Thariq ketika dia memutar gagang pintu rumahnya. Sindrom Gugup, yang beberapa hari ini resmi menjadi musuhku, akhirnya kembali muncul secara tiba-tiba. Tanpa diundang. Tanpa menunjukkan sopan santun.
Aku khawatir tak mampu mengontrol sikapku.
Aku khawatir penampilanku tidak bisa mengesankan ayah dan ibunya.
Aku khawatir tak mampu mengontrol sikapku.
Aku khawatir penampilanku tidak bisa mengesankan ayah dan ibunya.
Pintu rumah terbuka. Kami tidak menemukan tanda-tanda adanya kehidupan. Setelah menelantarkanku di ruang tengah, Thariq bergegas mencari kedua orangtuanya yang mungkin sedang berada di halaman belakang. Kuperhatikan seisi rumah ini. Sangat terlihat jelas, lantai dan berbagai furnitur yang menempel di dinding dan meja telah dibersihkan secara cekat. Fakta ini semakin meyakinkanku bahwa sang pemilik rumah sedang menunggu tamu yang 'diharapkan'.
Itu berarti, perjamuan ini begitu penting bagi mereka.
Ingin rasanya menjerit.
Itu berarti, perjamuan ini begitu penting bagi mereka.
Ingin rasanya menjerit.
Aku melangkah dan mengamati sekitar. Semenit berselang, mataku langsung tertuju pada sebuah bingkai yang tertancap di atas lemari. Nampak potret seorang wanita muda cantik sedang tersenyum seraya menggendong anak laki-laki berumur lima tahun.
"Mah, Pak, kenalin, ini Desi." Thariq tiba bersama sepasang suami-istri paruh baya.
Semua berawal dari sini.
Inilah saatnya aku berperan sebagai peserta.
Sebuah momen ketika Nyonya Besar bertindak sebagai juri.
"Mah, Pak, kenalin, ini Desi." Thariq tiba bersama sepasang suami-istri paruh baya.
Semua berawal dari sini.
Inilah saatnya aku berperan sebagai peserta.
Sebuah momen ketika Nyonya Besar bertindak sebagai juri.
* * *
Aku bersyukur, pengalaman sebagai wanita yang sudah beberapa kali berkunjung ke rumah pacar telah memberiku banyak 'ilmu pasti', atau aku lebih suka menyebutnya dengan 'prosedur'. Pertama, ketika obrolan santai yang diadakan di ruang tamu telah usai, biasanya calon ibu mertua mengajak makan malam bersama. Prosedur yang harus kulakukan adalah membantu beliau memasak di dapur.
Tentu saja aku tidak diperintah, bahkan seringkali calon ibu mertua menolak bala bantuan. Tapi, akan sangat bodoh jika aku tidak bersikeras membantu beliau di dapur. Ucapan yang biasa mereka lontarkan adalah, "Sudah, kamu gak perlu repot-repot. Ibu bisa sendiri kok." Percayalah, kalimat ini sebenarnya bermakna, "Mari kita lihat seberapa hebat kau bisa masak, Nona Muda."
Oleh karena itu, prosedur pertama ini dinamakan Tes Kerajinan Tangan.
Selama proses memasak, aku dapat merasakan ada sepasang mata yang sedang mengawasiku. Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan hal-hal mistis. Bukan pula kelakuan makhluk astral. Ini nyata, hasil perbuatan seorang manusia. Namun, efek yang ditimbulkan jauh lebih menyeramkan daripada peristiwa gaib mana pun. Aku tidak berani menatap balik 'pandangan' itu. Aku hanya bisa berdoa dalam hati untuk tidak melakukan kesalahan barang sedikit.
"Neng Desi, di rumah biasanya suka masak apa, nak?" Mama Thariq memecah keheningan dengan pertanyaannya.
Apa aku telah melakukan kesalahan? Apakah metode yang kupakai untuk memotong sayuran keliru? Saat hendak menjawab pertanyaan yang tidak asing tersebut, aku memberanikan diri menatap sepasang mata yang sejak tadi mengawasiku.
Tatapan itu.
Selama proses memasak, aku dapat merasakan ada sepasang mata yang sedang mengawasiku. Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan hal-hal mistis. Bukan pula kelakuan makhluk astral. Ini nyata, hasil perbuatan seorang manusia. Namun, efek yang ditimbulkan jauh lebih menyeramkan daripada peristiwa gaib mana pun. Aku tidak berani menatap balik 'pandangan' itu. Aku hanya bisa berdoa dalam hati untuk tidak melakukan kesalahan barang sedikit.
"Neng Desi, di rumah biasanya suka masak apa, nak?" Mama Thariq memecah keheningan dengan pertanyaannya.
Apa aku telah melakukan kesalahan? Apakah metode yang kupakai untuk memotong sayuran keliru? Saat hendak menjawab pertanyaan yang tidak asing tersebut, aku memberanikan diri menatap sepasang mata yang sejak tadi mengawasiku.
Tatapan itu.
Tatapan khas seorang ibu. Tatapan seorang wanita yang hanya bisa dimengerti oleh sesama wanita. Sebuah gambaran rasa curiga dan antisipasi terhadap seseorang. Sebuah ekspresi yang selalu diartikan 'judes' oleh kaum pria, yang padahal, itu memiliki makna lebih luas.
Mama Thariq, yang mulai saat ini akan kusebut Nyonya Besar, akhirnya memulai inspeksi kecil-kecilannya. Aku mendadak teringat pada bingkai foto yang tadi kulihat di ruang tengah. Mungkin foto itu adalah sebuah upaya intimidasi yang seakan mengatakan, "Thariq adalah buah hati kesayanganku. Jika ada orang yang berminat mengambilnya, dia haruslah sehebat dan sesempurna diriku."
Oh Tuhan.
Aku harus memilah kalimat yang tepat untuk menjawab Nyonya. Maka kuputuskan dengan, "Ah paling masak masakan yang biasa aja, Bu. Kadang sayur, tumis daging, atau kalau Desi lagi pengen, biasanya suka nyoba-nyoba eksperiman resep yang ada di buku."
"Kamu gak usah panggil 'Bu', panggil aja 'Tante' atau 'Mamah'." Koreksi Nyonya, tanpa mengalihkan fokusnya dari penggorengan.
"Oh, iya Mah." Sahutku, sambil menahan diri untuk tidak menambahkan imbuhan 'Tiri'.
"Mamah mau nanya, sedikit. Menurut kamu, Thariq itu gimana orangnya?" Nyonya melanjutkan inspeksinya. Tidak kusangka pertanyaan tersebut akan dikeluarkan secepat ini.
Prosedur kedua, atau biasa kusebut dengan Tes Pengetahuan. Dalam tahapan ini, biasanya Calon Ibu Mertua menanyakan pertanyaan yang bersifat menjebak. Mereka ingin mengetahui sejauh mana kita mengenal sifat dan karakter anaknya, atau dalam kasus ini, Thariq. Sebenarnya kalimat yang dilontarkan Nyonya Besar memiliki arti "Hei, kalau kau tidak terlalu paham sifat anakku, sebaiknya kau pulang saja, Nona Muda."
"Emmm... menurut Desi, Thariq itu orangnya lembut banget, Mah. Perhatian, suka bercanda, walau dari luar kelihatannya cuek."
Meskipun bibirku agak bergetar saat mengatakannya, jawaban ini membuatku lega. Namun, rona wajah Nyonya Besar seolah mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya setuju denganku. Kala beliau membuka tutup panci, kepulan asap yang tersembul membuat dahi dan alisnya mengernyit. Tidak, aku yakin itu bukan disebabkan karena asap, melainkan karena jawabanku. Aku semakin gelisah. Sindrom Gugup telah menguasai seluruh tubuhku.
Nyonya membalikkan badan untuk menghadapku. "Sewaktu kecil, Oyik itu orangnya pendiam."
Pria yang sangat kucintai, pemilik senyuman termanis di muka bumi, ternyata mempunyai panggilan 'Oyik' di lingkungan keluarganya.
"Tapi walaupun pendiam," lanjut Nyonya. "Dia itu manja, selalu pengen diperhatiin. Bahkan setiap Mamah pergi kerja, Oyik gak mau ditinggal, maunya ngikut Mamah ke sekolah. Padahal ada kakak-kakaknya yang mau nemenin di rumah. Maklum, namanya juga anak bungsu."
"Iya, Mah." Timpalku. Jawaban ini memang tidak diperlukan. Hanya saja, ini kulakukan untuk mencegah tawa yang sedang kutahan.
"Kamu juga harus tahu, Oyik itu punya sifat perasa. Sejak kecil dia orangnya gak tegaan. Pernah sewaktu SD, dia ngelihat temen-temennya lagi berantem. Yang Mamah heran itu, malah dia yang nangis, bukan temen-temennya."
Bibirku merekah mendengar ini. Selemah itukah Thariq?
"Makanya," Nyonya meneruskan ceramahnya. "Ngebaca jalan pikiran Oyik itu sulit. Kita kudu bener-bener cerdas, kudu sabar. Mamah aja kadang suka bingung ama kelakuan dia, apalagi orang lain."
Aku hanya bisa tersenyum kecut saat kalimat 'orang lain' diucapkannya dengan nada yang agak tinggi, seolah itu ditujukan untukku. Aku tidak mengerti, mengapa Nyonya Besar bersikap sinis padaku? Kami belum lama saling kenal, tapi dia sudah menghukumku seakan aku ini adalah benalu dalam keluarganya. Aku merasa kesal pada wanita ini.
Jika dalam cerita dongeng, beliau adalah ibu tiri Cinderella.
Jika diibaratkan legenda penyihir, beliau sudah seperti Angele de la Barthe.
Jika dalam ruang lingkup sekolah, Guru BP adalah gambaran pas untuknya.
"Kalau boleh Mamah tahu, rencana kalian ke depannya mau gimana?" tanya Angele, dengan tatapan yang masih saja menyeringai.
"Kami sudah punya rencana mau menikah, Mah. Insya Allah."
"Oiya Mamah baru inget. Oyik pernah cerita, katanya Desi kerja di toko handphone yah?"
Prosedur ketiga dan terakhir: Tes Karir dan Keibuan. Sebuah tahapan yang menguji kelayakanmu sebagai ibu rumah tangga maupun wanita karir.
"Iya, Mah. Alhamdulillah."
"Jam kerjanya berapa lama?"
"Delapan jam dalam sehari, Mah."
"Masya Allah! Emang kamu gak capek kerja seharian gitu, nak?"
Tidak. Aku hanya capek menanggapi pertanyaan-pertanyaanmu, Angele.
Mama Thariq, yang mulai saat ini akan kusebut Nyonya Besar, akhirnya memulai inspeksi kecil-kecilannya. Aku mendadak teringat pada bingkai foto yang tadi kulihat di ruang tengah. Mungkin foto itu adalah sebuah upaya intimidasi yang seakan mengatakan, "Thariq adalah buah hati kesayanganku. Jika ada orang yang berminat mengambilnya, dia haruslah sehebat dan sesempurna diriku."
Oh Tuhan.
Aku harus memilah kalimat yang tepat untuk menjawab Nyonya. Maka kuputuskan dengan, "Ah paling masak masakan yang biasa aja, Bu. Kadang sayur, tumis daging, atau kalau Desi lagi pengen, biasanya suka nyoba-nyoba eksperiman resep yang ada di buku."
"Kamu gak usah panggil 'Bu', panggil aja 'Tante' atau 'Mamah'." Koreksi Nyonya, tanpa mengalihkan fokusnya dari penggorengan.
"Oh, iya Mah." Sahutku, sambil menahan diri untuk tidak menambahkan imbuhan 'Tiri'.
"Mamah mau nanya, sedikit. Menurut kamu, Thariq itu gimana orangnya?" Nyonya melanjutkan inspeksinya. Tidak kusangka pertanyaan tersebut akan dikeluarkan secepat ini.
Prosedur kedua, atau biasa kusebut dengan Tes Pengetahuan. Dalam tahapan ini, biasanya Calon Ibu Mertua menanyakan pertanyaan yang bersifat menjebak. Mereka ingin mengetahui sejauh mana kita mengenal sifat dan karakter anaknya, atau dalam kasus ini, Thariq. Sebenarnya kalimat yang dilontarkan Nyonya Besar memiliki arti "Hei, kalau kau tidak terlalu paham sifat anakku, sebaiknya kau pulang saja, Nona Muda."
"Emmm... menurut Desi, Thariq itu orangnya lembut banget, Mah. Perhatian, suka bercanda, walau dari luar kelihatannya cuek."
Meskipun bibirku agak bergetar saat mengatakannya, jawaban ini membuatku lega. Namun, rona wajah Nyonya Besar seolah mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya setuju denganku. Kala beliau membuka tutup panci, kepulan asap yang tersembul membuat dahi dan alisnya mengernyit. Tidak, aku yakin itu bukan disebabkan karena asap, melainkan karena jawabanku. Aku semakin gelisah. Sindrom Gugup telah menguasai seluruh tubuhku.
Nyonya membalikkan badan untuk menghadapku. "Sewaktu kecil, Oyik itu orangnya pendiam."
Pria yang sangat kucintai, pemilik senyuman termanis di muka bumi, ternyata mempunyai panggilan 'Oyik' di lingkungan keluarganya.
"Tapi walaupun pendiam," lanjut Nyonya. "Dia itu manja, selalu pengen diperhatiin. Bahkan setiap Mamah pergi kerja, Oyik gak mau ditinggal, maunya ngikut Mamah ke sekolah. Padahal ada kakak-kakaknya yang mau nemenin di rumah. Maklum, namanya juga anak bungsu."
"Iya, Mah." Timpalku. Jawaban ini memang tidak diperlukan. Hanya saja, ini kulakukan untuk mencegah tawa yang sedang kutahan.
"Kamu juga harus tahu, Oyik itu punya sifat perasa. Sejak kecil dia orangnya gak tegaan. Pernah sewaktu SD, dia ngelihat temen-temennya lagi berantem. Yang Mamah heran itu, malah dia yang nangis, bukan temen-temennya."
Bibirku merekah mendengar ini. Selemah itukah Thariq?
"Makanya," Nyonya meneruskan ceramahnya. "Ngebaca jalan pikiran Oyik itu sulit. Kita kudu bener-bener cerdas, kudu sabar. Mamah aja kadang suka bingung ama kelakuan dia, apalagi orang lain."
Aku hanya bisa tersenyum kecut saat kalimat 'orang lain' diucapkannya dengan nada yang agak tinggi, seolah itu ditujukan untukku. Aku tidak mengerti, mengapa Nyonya Besar bersikap sinis padaku? Kami belum lama saling kenal, tapi dia sudah menghukumku seakan aku ini adalah benalu dalam keluarganya. Aku merasa kesal pada wanita ini.
Jika dalam cerita dongeng, beliau adalah ibu tiri Cinderella.
Jika diibaratkan legenda penyihir, beliau sudah seperti Angele de la Barthe.
Jika dalam ruang lingkup sekolah, Guru BP adalah gambaran pas untuknya.
"Kalau boleh Mamah tahu, rencana kalian ke depannya mau gimana?" tanya Angele, dengan tatapan yang masih saja menyeringai.
"Kami sudah punya rencana mau menikah, Mah. Insya Allah."
"Oiya Mamah baru inget. Oyik pernah cerita, katanya Desi kerja di toko handphone yah?"
Prosedur ketiga dan terakhir: Tes Karir dan Keibuan. Sebuah tahapan yang menguji kelayakanmu sebagai ibu rumah tangga maupun wanita karir.
"Iya, Mah. Alhamdulillah."
"Jam kerjanya berapa lama?"
"Delapan jam dalam sehari, Mah."
"Masya Allah! Emang kamu gak capek kerja seharian gitu, nak?"
Tidak. Aku hanya capek menanggapi pertanyaan-pertanyaanmu, Angele.
"Awalnya sih Desi sempat kewalahan, Mah. Tapi sekarang udah biasa kok."
Nyonya Besar mengambil segelas air dan meminumnya. "Nanti kalau kalian menikah, sebaiknya kamu diem aja di rumah. Biar Oyik yang cari uang. Kamu percayakan urusan materi ke dia. Atau kalau kamu mau tetep kerja, mending cari pekerjaan lain yang sekiranya gak terlalu nguras waktu. Mamah cuma ngasih tahu kamu aja, ngurus rumah tangga itu berat. Istri harus cekatan ngurus keperluan suami, anak, belum lagi ngurus rumah."
Inilah hal yang paling menyebalkan dari orang tua. Mereka selalu mengatur apa yang seharusnya menjadi pilihan kami, wanita. Ada kalanya mereka menyuruh kami berdiam diri di rumah. Ada kalanya juga mereka menyuruh kami mencari karir yang dapat meringankan beban keluarga. Sebagai wanita yang belum merasakan mahligai rumah tangga, aku tidak membela pihak mana pun. Ibu rumah tangga maupun wanita karir, bagiku itu sama saja. Dua profesi yang sama-sama patut dihargai dan dihormati.
Hanya saja, aku sangat membenci mereka yang bertingkah seolah mengetahui segalanya. Wanita karir itu bla bla bla, ibu rumah tangga itu bla bla bla. Mereka hanya bisa menilai dari luar saja, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam.
* * *
"Sayang, bener kan apa yang kubilang. Keluargaku itu orangnya santai. Kamu gak perlu lah ngerasa gugup atau malu-malu lagi. Bahkan barusan mamaku bilang suka sama kamu."
Motor Astrea yang kami tunggangi melaju dengan kecepatan lambat. Thariq mengajakku berbincang walaupun hembusan angin membuat suaranya terdengar kurang nyaring. Sejujurnya, aku cukup puas dan lega dengan berakhirnya kunjungan ini. Tekanan batin yang kualami, biarlah tetap menjadi misteri dan mitos yang hanya diketahui oleh Angele de la Barthe.
Terlepas dari itu, ada hikmah yang dapat kupetik dari pengalaman ini. Bahwa: Laki-laki adalah makhluk ciptaan Tuhan yang seringkali mengejek kaum perempuan dengan sebutan 'manja'. Padahal jika dilihat dari fakta, mereka juga telah dibesarkan dengan teramat sangat manja oleh makhluk bernama Wanita.
"Iya, sekarang mah aku gak akan malu-malu lagi. Makasih ya, Oyik."
Motor Astrea yang kami tunggangi melaju dengan kecepatan lambat. Thariq mengajakku berbincang walaupun hembusan angin membuat suaranya terdengar kurang nyaring. Sejujurnya, aku cukup puas dan lega dengan berakhirnya kunjungan ini. Tekanan batin yang kualami, biarlah tetap menjadi misteri dan mitos yang hanya diketahui oleh Angele de la Barthe.
Terlepas dari itu, ada hikmah yang dapat kupetik dari pengalaman ini. Bahwa: Laki-laki adalah makhluk ciptaan Tuhan yang seringkali mengejek kaum perempuan dengan sebutan 'manja'. Padahal jika dilihat dari fakta, mereka juga telah dibesarkan dengan teramat sangat manja oleh makhluk bernama Wanita.
"Iya, sekarang mah aku gak akan malu-malu lagi. Makasih ya, Oyik."
-- Beres --
NB: Cees, itulah yang akan terjadi jika anak laki-laki terlalu manja/dimanja oleh ibunya. Makanya jangan terlalu manja atuh, kasihan calon istrimu nanti.
NB2: Ide cerita ini lahir dari komentar Teh Wuri di postingan Calon Ayah Mertua vs Calon Kakak Ipar yang berbunyi: "Kalo buat kami para wanita, penyiksaan tak kasat mata adalah ketika berhadapan dengan calon ibu mertua. Kebayang gak, rasanya itu seakan Bumi mau kiamat."
NB3: Menurut selentingan kabar yang beredar, denger-denger katanya siksaan batin yang dilakukan oleh CIM (Calon Ibu Mertua), akan semakin keji saat mereka sudah resmi bertransformasi menjadi IM (Ibu Mertua). Eh, bener gak sih?
NB4: Ya Tuhan kami, jauhkanlah para menantu yang ada di seluruh dunia dari kejamnya intimidasi (Calon) Mertua.
NB5: Aduh, untung aja mamah saya mah orangnya lemah lembut. Oiya, saya termasuk laki-laki yang tidak manja pada ibu lho. Jadi, barangkali di sini ada cewek yang masih single, sok lah saya siap dijadiin pacar. Yang berminat, langsung komen di bawah, atau kirim email ke peacemakeragia@aol.com
NB6: Saya tunggu yah...
Keren euy pake pov cewek haha. Kalimat2nya ada yang ke-cewek-an nih kayak "inginku menjerit". *lalu bayangin lo yang bilang gitu, merinding gue haha.
ReplyDeleteNb5 sepertinya gue mencium modus di balik cerpen ini. Hmmmm...
Diam! Kau harus menerima kenyataan ini. HAHAHA.
DeleteEhh cees, ntar saya mau nyoba nulis cerita sehari-hari kayak blog lu ah. Nantikan...
NB4 keren euy doanya.. Ya tuhan jauhkan lah calon penantu dari kejamnya intimidasi calon mertua :-D kalau saya sih ya bawa pacar ke rumah tuh gak gtu-gtu amat di tanya-tanya nya. paling cuman nanya sim sama ktp.. wkwk
ReplyDeleteSIM, KTP, sama kartu pelajar ya? BPJS jangan lupa kang Effendi (p)
DeleteWah, keren cuy. Haha
ReplyDeleteAda tes2 gitu ya dari nyonya besar. Haha
Iya cees, ada Tes gitu lho..
DeleteSelamat, Agia. Kamu udah berhasil bikin aku (dan mungkin cewek-cewek lain) takut menghadapi Nyonyah Besar-nya cowok yang diharapkan jadi penanam benih di janin. :(((
ReplyDeleteDapet banget kesan ceweknya, Gi. Suka sama keresahannya Desi. Aku banget. Pas milih pakaiannya mau ke rumah pacarnya itu lhooo. Aaaaak. :D
Haha RASAKAN SENSASINYA NANTI, RASAKAN! Oke makasih sudah baca Cha =D
Deletekeren, Son. aku gak komentar.. menikmati ceritanya aja.
ReplyDeleteLah terus ini apa ? padahal gpp gak komentar juga asalkan baca sampai selsai.. tuh betul gak admin ?
DeleteYang bawah saya saja yang jawab kang.
DeleteAdi: Oke Di, santai saja. Thanks sudah mau baca.
DeleteEffendi: Haha, iya juga yah. Padahal ini juga udah termasuk komentar.
Kang Iman: Siap Panglima!
Pas nulis ini berubah jadi cewek g, bang?
ReplyDeleteKagak, berubah jadi Kappa, Nik.
DeleteAnjrit, semakin hari kamu semakin dewasa. Kapan mau ngelamar 'Desi' kang?
ReplyDeleteGak ada Desi-Desian. Yang ada hanyalah pertunangan mantan. *Eh keceplosan
DeleteNyokap gue ngantor tapi masih bisa punya waktu buat keluarga kok. Dulu, waktu masih kecil masih sempet bantuin gue buat persiapan sekolah besok. Jaman sekarang mah, yang namanya kerja nggak harus melulu di kantor. Sekarang apa-apa serba onlen. Rapat direksi aja onlen. Jadi lebih fleksibel. Teknologi emang cihuy yak..
ReplyDeleteBetul. Teknologi. Haha. Kalo sekarang gimana, masih suka dianter nyokap ke sekolah gak?
DeleteBerapa lama lu riset jadi cewek? Bisa-bisanya dah bikin pov cewek. Ya, walaupun aslinya pikiran cewek pasti jauh lebih kompleks dari ini. :D
ReplyDeleteTapi, Cees, ini keren betul! Ehehe. :))
Ini sebagian data-datanya dapet dari hasil wawancara ke temen. Sisanya nebak-nebak. Haha.
Deleteini kok kayanya bisa tau banget yak pov cewek wqwq
ReplyDeletesampe makna asli dari "gak usah repot-repot bantuin" tau segala
tapi ini keren sih. bikin ikut deg-degan kelak jika ku disituasi seperti itu. meskipun gue cowo hha
Iya Bang, soalnya saya kan pernah hidup bersama seorang wanita tersayang (dibajak).
DeleteHaha kalo cowok, ntar tantangannya ada di CAM & CKI.
Gue cukup mengapresiasikan tulisan ini, gak gampang ya, bikin karakter cewe ini hahaha.. keren lah :D
ReplyDeleteNb ke 5, itu mungkin inti dari postingan ini(promosi terselubung).
Yaelah, jangan disebutin. Nanti ketahuan atuh ;-(
Deletekayaknya ini nulis brdasarkan pengalaman pribadi yaah.
ReplyDeleteitu pasti sih desi "ceweknya sih sonagia" yg curhat ke soni klo aku gugup ngadepin camer. jdilah rangkaian spt diatas.
ehmm, aku hampir sama sptnya dgn desi. ahh, cewek manasih yg gak gugup ngadepin perkenalan pertama kali kehadapan camer. semua CEWEKKK, son!
ya itu klo komentatornya seribu orang seperti AKU, SON :D hahaha
Haha kesimpulanmu salah, Yu. Bukan, saya mah udah lama gak punya pacar. Jadi kurang tahu bagaimana dunia luar hihi
DeleteKalo gitu, berarti tulisan ini cukup akurat dong? Thank you udah mau-maunya baca yah..
Mertua laki udah, mertua cewe udah, kaka ipar udah, what next?
ReplyDeleteNext: Istri tetangga bang.
Deleteselalu suka baca cerita fiksinya Mas Son Agia yang ada di blog ini :)
ReplyDeleteWaduh makasih banyak nih mbak. Suka bingung kalo ada yang muji gini teh.
DeleteDagorin saja kang kalau bingung mah, gkgkgk.
DeleteAsli ya saya serius banget baca sekuel ini, pas liat ke bawah healah dalah ternyata terinspirasi dari komen saya toh maigat hahahahha sona sona >.<
ReplyDeleteCara mu bercerita seperti benar-benar pernah berada di posisi wanita itu, padahal kan kamu cowok wakakakakaka
Yosh, rerima kasih inspirasinya teh Wuri 8-)
DeleteIya, ini saya juga cuma ngira-ngira jalan pikiran cewek.
Udah mulai bernuansa cerita fiksi nih blog nya dan tambah keren euyy ceritanya hehe
ReplyDeleteDari dulu juga banyakan cerita fiksi sih. Soalnya saya gak punya cerita sehari-hari yang menarik cees :-)
DeleteCukup sensitif nih artikel ini hihi..saya selalu suka mebaca tulisan mu kawan. Banyak tulisan mu yang menginspirasi. Tetap sukses ngblognya ya.
ReplyDeleteSip makasih. Sukses juga buatmu, cees (y)
Deletekeren bisa jadi tokoh wanita juga ya sudut pandangnya, bikin novel sekalian, udah mahir nih
ReplyDeleteWaduh gak kepikiran sampe situ mbak. Soalnya saya nulis bukan karena hobi sih, karena pengen caper hehehe.
DeleteMakasih sudah mau baca.
Aku ngasih coment dr kmrn error mlulu son. Eh..untung aku nggak pke acara masak2 segala pas ktmu camer pertama. Habis camerku statusnya dah ibu tiri..jadi suamiku dah nggak deket dr awal😊
ReplyDeleteKok bisa error ya Bun. Hehe beruntung dong kalo gitu ya.
Deletelha belakangannya ngiklanin diri sendiri :D
ReplyDeleteIya iseng-iseng, kali aja dapet. Ikhtiar harus tetap dilakukan Teh :)
Deleteteteh baca dari awal sampek akhir hahaha, kok sona kayaknya paham banget ya masalah beginian. alhamdulillah sih gak pernah gini sama mertua. ibu mertua adalah pengganti mami hingga saat ini.
ReplyDeletesemoga bisa jadi mertua yang deket sama menantu juga nanti haha
Amin. Semoga bisa tercapai ya Teh.
DeleteKemarin camer laki-laki..skrg camer perempuan. Bisaan eung. Tinggal dibikin plotnya...kasih tak sampai apa cinderella apa ariel...xixi. Biar lengkap jadi buku..
ReplyDeleteHaha Kasih tak Sampai, cinderella, Ariel. Cukup menarik hehe 8-)
DeleteSalah banget tuh info NB3nya. Tergantung ibu mertuanya kaya apaaaaa. Ibu mertua aku baik sih dr saat pacaran dan sesudah nikah tetep baik kok :D
ReplyDeleteIya dong, itu semua tergantung sifatnya hehe. Makasih udah baca, Teh Dian.
DeleteWah tumben mas tokoh akunya cewek hihi
ReplyDeleteAwkward emang klo pertama ketemu camer, yang penting rileks en lempeng aja jadi desi, biar lulus tes ahaha
Iya nih Teh, nyoba-nyoba pake perspektif cewek hehe.
DeleteIya sama, kami (cowok) juga suka awkward pas berhadapan ama bapak si doi hihi
Ini semacem sekuel dari postingan sebelomnya ya mas
ReplyDeleteIya, sebelumnya cerita dari perspektif laki-laki Teh.
Deletebutuh waktu berapa lama tuh buat nulis sebanyak itu?? pemikirinranya hebat. tingkatkan !!
ReplyDeleteNulisnya sih gak terlalu lama, tapi nyari referensinya yang makan waktu. Thanks sudah berkunjung.
DeleteKalau diteliti cerpennya sudah masuk kategory 'kelas berat' perlu pendalaman yang lebih agar bisa memahami maknanya.. Itu menurut saya yang bukan peneliti kang, haha...
ReplyDeleteHaha enggak seberat itu kok kang. Sok atuh cepet-cepet jadi peneliti, biar bisa meneliti isi hatiku.
DeleteSekuel itu bahasa apa ya...?
ReplyDeleteKasih tahu gak ya...
DeleteThanks ya bang Trik (o)
DARI cerpen ini bisa dilihat bahwa soa sangat mengerti perasaan wanita
ReplyDeleteayo para wanita single, terimalah lamarannya :p
nunggu update sona
Asik ikut dipromosiin.
DeleteHaha sekarang-sekarang mah lagi males nulis Teh. Mungkin nanti..
Dari lama mau baca post ini sampai selesai, akhirnya kesampaian juga.
ReplyDeleteGue sering dengar cerita dari sodara perempuan gue yg udah nikah. Dan memang. Perbandingan antara menantu yg menyukai mertua dan sebaliknya itu 0. Gada itu. Isinya basa - basi semua pasti. Palsu hahaha
Buset udah kayak cita-cita aja, pake kalimat 'akhirnya kesampaian' segala. Haha.
DeleteMantap, informasi baru lagi tuh. Thank you cees.
Calon mertuanya perhatian banget ya, sampai nanya sedetail itu. Membuka aib anaknya sendiri :)
ReplyDeleteKalau aku sebagai wanitanya, langsung minta putus. Ingin mencari lelaki yang tangguh dan tidak manja.
Iya juga ya. Itu kan secara tidak langsung malah ngebuka aib anaknya. Haha ayo makanya jadi wanita aja bang hihi
DeleteMendalami bnget karakternya ya son, gw bacanya jadi gk sadar klo yg nulis ceritanya laki2. Smpai2 dialognya ada aura2 feminim gtu.
ReplyDeletePelajaran nih, buat perempuan2 calon mnntu untuk brhadapan dengan nyonya besar, haha
Oiya, ini knjungan prdana gw ksini ya son, salam kenal :))
Jngan lupa di folback, Hehe (y)
Itu hanya imajinasimu saja. Mungkin disebabkan karena kamu punya sifat feminin yang kentara, jadi kerasanya kayak cewek yang nulis haha.
DeleteOke salam kenal juga. Folback siap!
Wiih... cerpennya? Karakter Desi dapet banget. Apalagi ketika dia ngobrol sama mamanya Thariq.
ReplyDeleteHmm... belum pernah ngalami sih. Tapi, kamu sukses buat aku mikir2 juga andai suatu saat 'terjadi'.
Yosh mudah-mudahan aja gak akan terjadi ke kamu ya, Einid.
DeleteWadaaaaww... Leh uga ni fiksinya.. Dapet abiissss..
ReplyDeleteApa yang didapet? Pengennya sih uang.
Deletepengennya kamu :'(
DeleteJadi kamu pacaran ama thariq ??? ngak papa sech mmg lagi musim yang kayak gini hua hua hua
ReplyDeleteJangan-jangan Bang Cum nih salah satunya. Haha.
Deleteasikk banget mass ceritanyaaa,, hhheee jadi kayak ikut masuk :p
ReplyDeletepernah juga bikin postingan tentang mertua, dan merasakan hal yang sama seperti di postingan ini. Ingin memberikan kesan yang baik untuk camer :")
ReplyDeleteBerasa yang nulis si Desi beneran. XD
ReplyDelete