Mencekam. Pertanyaan saya seakan tenggelam. Boro-boro dijawab, yang ada saya malah ditanya balik. Seandainya bisa, saya ingin mengganti situasi ini dengan situasi lain. Ada masa dalam hidup di mana kita berharap menjadi orang lain. Dan di detik inilah, saya berharap bisa berubah jadi orang yang 84% lebih berkarisma.

“Oh, boleh. Gak apa-apa, Teh. Santai aja.”

--o00o--

(Juni, 2013)

Saat liburan semester berlangsung, mahasiswa fakultas Fisip di kampus saya malah sibuk PPL (Praktek Profesi Lapangan). Alih-alih kecewa, justru kami sangat antusias dengan adanya program-wajib ini. Sangat beralasan, mengingat berdiam diri selama tiga bulan di rumah bukanlah hal yang patut digemari. Terutama bagi saya, yang mana setiap libur kuliah, kerjaannya hanya mendengarkan lagu Kerispatih berjudul Tapi Bukan Aku. Ya, walaupun dinding kamar tertempel poster Green Day. Ya, walaupun kaus yang biasa saya pakai bertuliskan “Know Your Enemy”.

Jangan lagi kau sesali keputusanku...

Kami berlima kebagian bertugas di Dinas Sosial Kota Bandung. Kelompok ini terdiri dari Agus Kuda (Sosiologi), Adit (Administrasi Negara), Emon Dahlan (Sosiologi) dan Ai Kartini (Manajemen SDM). Oh tentu saja, keempat orang tersebut ditemani pria fantastis bernama Agia (Sosiologi).

Saya senang saat tahu ditempatkan di Dinas Sosial, karena bisa dibilang tempat ini sesuai dengan bidang kajian saya, Sosiologi. Berbeda dengan nasib kawan-kawan saya lainnya. Di antara mereka ada yang ditempatkan di Badan Perpustakaan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, bahkan ada juga yang kebagian di Polres Soreang.

Dinas Sosial Kota Bandung memiliki beberapa divisi beserta sub-nya, dan saya ditugaskan bantu-bantu di divisi Rehabilitasi Sosial, lebih tepatnya Seksi Pembinaan Rawan Sosial Anak dan Remaja. Apa saja pelayanan yang diberikan divisi ini untuk masyarakat? Oh banyak, di antaranya: memberi penyuluhan pada anak dan remaja yang rawan melakukan penyimpangan; merehabilitasi para tuna sosial, peyandang cacat, anak nakal dan korban narkotik; melakukan aksi razia.

Apa saja yang dilakukan pria fantastis bernama Agia selama PPL di sana? Oh banyak, ceesku, di antaranya: merokok; tertawa; disuruh nge-print; mendengarkan keluh-kesah para staf; ngomongin bola; internetan gratis; dan main catur.

Jenuh pisan euy. Lima belas hari pertama bertugas, kegiatan yang rutin saya jalani hanya sebatas itu-itu aja. Namun kebosanan akhirnya lenyap ketika Pak Yudi, selaku mentor, mengajak saya untuk ’turun’ ke lapangan.

“Gia, hari ini jangan pulang. Nginep di sini. Nanti malam kamu ikut operasi. Lumayan, buat nambah pengalaman,” ujar beliau, bersamaan dengan asap tebal Marlboro yang keluar dari mulutnya. Sekadar informasi, rokok yang dimaksud berharga Rp. 16.000.

“Oke siap, Pak,” jawab saya, seraya membalas dengan kepulan asap Sampoerna Kretek seharga Rp. 8.500.

Malam tiba. Waktu menunjukkan pukul sebelas. Saya bersama Pak Yudi dan Pak Usup (Keamanan) sudah bersiap melancarkan aksi Blitzkrieg. Percayalah cees, sensasi ketika saya naik Mobil Tahanan benar-benar sulit dilupakan. Saya berasa jadi pria perkasa anjis.

* * *

“Ini operasi gabungan, Gia. Biasanya polisi juga ikut. Tapi katanya sekarang gak bisa hadir,” Pak Yudi berkilah menanggapi basa-basi saya. Kami bertiga berbincang ringan sepanjang perjalanan menuju lokasi.

Makin penasaran, saya bertanya lagi. “Yang dirazia siapa aja ini teh, Pak?”

“Ya, macem-macem. Pengamen, Pengemis, tapi seringnya mah Pekerja 'ehem' Komersial, Gia.”

Ieu nu bakal dirazia biasana mah nu sok kambuhan, nu pernah direhab.” timpal Pak Usup. “Tingali geura, pasti jelma eta deui wae nu beunang,” yang dalam bahasa Indonesia berarti: “Ini yang bakal kita razia biasanya orang-orang kambuhan, yang sebelumnya pernah kita rehab. Liat aja, pasti dia lagi, dia lagi yang kena.”

Penyergapan dimulai.

Kalau saya gak salah inget, waktu itu kami berhasil mengamankan total lima orang, yaitu dua Anak Jalanan yang sedang mengamen dan tiga remaja Pekerja ‘ehem’ Komersial. Lantaran bingung apa yang mesti dilakukan, saya cuma bisa melongo selama penangkapan berlangsung. Sambil mengisap rokok, pastinya.

Awalnya saya kira kelima orang tadi akan dibawa langsung ke kantor Dinas Sosial, tapi ternyata diproses dulu di kantor polisi. Saya gak tahu mereka mau diapain di sana. Mungkin diceramahi, atau bahkan dibui (?). Ah, kalau itu kayaknya mustahil. Karena dilihat dari aspek wajah, umur mereka terbilang masih muda. Diperlukan adanya bimbingan khusus dan siraman rohani agar mereka bisa kembali ke jalan yang semestinya. Mantap!

* * *

Besok siangnya, saat saya lagi sibuk nge-print dokumen, seorang petugas polisi masuk ke ruangan kami. Kedatangannya sontak membuat saya meraba saku celana. Maklum, refleks. Kebiasaan ditilang.

Kekhawatiran saya sia-sia. Ada sesosok perempuan yang berdiri di belakang Pak Polisi. Rupanya dia adalah satu dari lima orang yang kami tangkap semalam. Selain cantik, baju yang dikenakan wanita ini pun terbilang modis. Namun sayang, penampilannya yang menawan tidak dibarengi dengan raut muka gembira.

Pak Yudi mempersilakan mereka berdua untuk duduk. Saya masih meraba-raba saku celana, jaga-jaga kalau nanti Pak Polisi minta uang. Lupa, ternyata rupiah yang ada di dompet hanya tersisa dua puluh ribu. Eh tapi biasanya segitu juga cukup, kan?

Aduh, si Agia ngusik. Maaf.

“Jadi gini, Pak Yudi,” Pak Polisi memulai pembicaraan. “Tadi malam sudah kami ........ ”

Selang beberapa menit, Bu Ecih (Kabid divisi) akhirnya datang. Obrolan pun dilanjut di ruangan beliau. Saya? Bergegas ke kantin. Sakau.

Tidak sampai satu jam, dari arah kantin saya bisa melihat petugas polisi tadi pergi meninggalkan tempat ini dengan mobil dinasnya. Setelah meneguk kopi habis, saya kembali ke ruangan dengan prospek yang jauh lebih cerah.

Belum sempat saya duduk di kursi, tiba-tiba Pak Yudi dan Bu Ecih menghampiri saya, sang pria fantastis. Dalam situasi ini, hanya ada tiga teori probabilitas: (1) Saya bakal disuruh nge-print. (2) Disuruh ngetik Microsoft Excel, atau (3) Pak Yudi dan Bu Ecih akan berduet menyanyikan lagu Kerispatih - Tapi Bukan Aku.

“Gia, ambil alih tuh.” bisik Pak Yudi, dengan ekspresi mantap.

“Ada apa, Pak?” tanya saya, bingung dengan definisi ‘ambil alih’ yang dimaksud.

“Itu si Neng lagi ada di Ruang Penyuluhan.” kali ini Bu Ecih yang menerangkan. “Sok, sekarang ku Agia urus. Kasih semacam penyuluhan. Si Neng itu udah dua kali ketangkep, tapi belum kapok wae budak teh. Jadi kudu direhabilitasi di sini.”

Lalu Pak Yudi menambahkan, “Sekalian belajar, Gia. Bapak percaya lah, ke mahasiswa Sosiologi mah.”

Astaga naga.

“Ha ha ha tai. Oke siap, Pak.” balas saya singkat. Oh tentu saja, kalimat pertama cuma diucapkan dalam hati.

Jujur ini mah, dari dulu saya paling gak bisa nasehatin orang. Maksudnya, nasihat berupa petuah bijak. Setiap ada kawan yang minta petunjuk kehidupan, –kecuali soal asmara– saya lebih suka bercanda atau ngetawain. Manakala ada kawan yang berbuat salah, saya lebih suka mengolok-oloknya. Bahkan, kalau ada anak kecil yang berperilaku menyimpang, saya cenderung mengumpat ketimbang menasehati.

Contohnya belum lama ini. Beberapa hari lalu, saya ngelihat segerombolan anak SMP (anaknya tetangga) yang lagi nongkrong sambil ngerokok di warung deket rumah. Bukannya menceramahi, saya malah bilang gini ke mereka: “Heh, leutik keneh ges ngarokok. Ayeuna bubar siah setan! Mun henteu, ku aing mah bejakeun ka kolot maraneh!” yang artinya, “Heh, kecil-kecil udah ngerokok. Bubar sekarang juga setan! Kalau enggak, saya laporin ke orangtua kalian!”

Yang jadi masalah, umpatan itu saya katakan sambil asyik mengisap sebatang rokok. Ya, saya memang gak punya jiwa kepemimpinan.

Makanya, dulu saya gelagapan ketika Pak Yudi dan Bu Ecih nyuruh saya ngasih siraman rohani ke orang lain. Terlebih lagi, perempuan. Seorang Pekerja ‘ehem’ Komersial. Itu harusnya jadi tugas para Psikolog, atau setidanya mahasiswa Psikologi.

* * *

Bismillah saya ucapkan, sebelum melaksanakan aksi-terpaksa ini. Pintu saya buka, dan nampaklah wanita berparas cantik itu sedang duduk manis menghadap meja.

“Udah lama, Teh?” Bahkan sebelum kalimat ini keluar dari mulut, saya sudah menyesalinya.

Tidak ada respons. Ayo, kamu pasti bisa, Son!

“Barusan Pak Yudi sama Bu Ecih ngomong apa aja ke Teteh?”

Si Teteh, yang umurnya saya taksir sekitar 21-an, merogoh sesuatu dari jaketnya. “Boleh ngerokok, gak?” tanyanya.

“Oh, boleh. Gak apa-apa, Teh. Santai aja.” Kemudian saya lirik bungkus rokok yang dia keluarkan. Ternyata Sampoerna A Mild Menthol.

Nama: Agia Aprilian
Peran: Motivator
Harga rokok yang biasa dibeli: Rp. 8.500

Nama: Si ‘Teteh'
Peran: Orang Yang Akan Diceramahi
Harga rokok yang biasa dibeli: Rp. 17.000

Ya Allah…

“Kalau boleh, saya mau nanya sedikit. Sejak kapan Teteh kerja gini?”

“Setahun lebih, Kang.”

Akhirnya.

“Oh. Emang sebelum ini Teteh kerja apa?”

“Gak kerja apa-apa, Kang.”

Hening.

Saya bingung mau nanya apa lagi. Selain karena baru pertama kali ngalamin situasi kayak gini, si Teteh juga bikin saya gugup. Soalnya cantik anjis. Saya tahu, kecantikan fisik memang bukan segalanya. Tapi bagi sebagian laki-laki, berhadapan dengan wanita rupawan acapkali mampu membutakan segalanya.

Agar pikiran lebih tenang, saya ikutan ngerokok. Ya, terpaksa saya relakan rokok bapak-bapak seharga Rp. 8.500 itu terekspos. Namun sial, kala hendak menyalakan korek api, mendadak muncul satu suara yang langsung bikin saya merinding. Jenis suara yang paling ditakuti kaum pria. Jenis suara yang dapat melahirkan momen paling canggung di muka bumi.

Si Teteh, wanita yang sejak tadi duduk menghadap saya, tiba-tiba nangis. Tangisannya memang pelan, tapi raut mukanya seolah berteriak kencang.

Dari situ saya gak bisa apa-apa. Diam adalah jalan keluar terbaik. Memberikan efek penenang dengan perkataan “Sabar, Teh. Ini semua ada hikmaknya” bukan merupakan solusi yang tepat, ceesku. Apalagi menyanyikan lagu Kerispatih - Tapi Bukan Aku.

Lupakan sejenak soal statusnya sebagai tuna susila. Saya akan jauh lebih hina dan rendah jika mengganggu atau mencaci perempuan yang sedang berduka. Air matanya bukanlah air mata yang minta dibelas-kasihani. Ini murni gambaran seseorang yang ingin mencurahkan segala beban hidupnya.

“Saya sudah gak punya apa-apa lagi, Kang. Sekarang saya ........ ”

--o00o--

Setelah mendengarkan penuturan lengkap si Teteh dengan seksama, pada akhirnya pria fantastis bernama Agia tidak memberi solusi apa-apa. Saya cuma bisa jadi pendengar pasif yang sesekali mengajaknya bercanda agar suasana lebih cair.

Sudah bisa ditebak, faktor ekonomi jadi pemicu terenggutnya jati diri si Teteh dan (mungkin) Pekerja 'ehem' Komersial lainnya. Entah karena mereka sedang ‘butuh’ atau memang sudah ‘terbiasa’, itu masih menjadi misteri. Yang jelas, harta mah memang susah dimengerti anjis.

Banyak media beranggapan bahwa lagu Can’t Buy Me Love ciptaan The Beatles adalah upaya sindiran terhadap segala bentuk prostitusi beserta para pelakunya. Namun, ada satu pertanyaan yang sejak dulu terbesit di benak saya: “Benarkah itu, cees?”

Khianati rasa demi keinginan semu. ~Kerispatih

- - -
Karya seni tingkat tinggi.
Judul: Cool Man Smoking

NB: Mohon perhatiannya. Sekarang rokok yang saya konsumsi sudah naik level. Magnum Filter seharga 15 ribu.

60 KOMENTAR

Blogku adalah kebebasanmu. Dipersilakan kepada para agen judi untuk berkomentar selincah-lincahnya.
SONAGIA.COMSONAGIA.COM

  1. anjis, setelah baca postingan ini aku jadi hafal harga-harga rokok, terimakasih cees ku.

    iya, begitulah, semuanya balik lagi kemasalah yang paling kursial di negri ini. ekonomi. haha apalagi.

    tapi aku yakin sih, kalo perempuan itu mau berusaha lagi lebih keras, dia bisa dapet rezeki yan halal, nggak harus jadi pekerja uhuk komersial. apalagi dia masih muda, baru umur 21, masih produktif.

    -halah ngemeng mah gampang put -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oke, siap gerak! Tapi awas, jangan sampe beli ya :)

      Oh jadi persoalannya ekonomi ya. Haha. Puput keren!

      Delete
  2. Belum pernah menjamah kehidupan mereka jadinya kita belum tahu gimana rasanya nggak punya apa-apa. Tapi, ya, sedih kalau sampai hilang jati diri.

    Btw, magnum filter produk baru ya? Saya suka menthol dulu. Dingin. :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan sedih Rob, kamu masih SMA. Jadilah orang perkasa!

      Magnum Filter mah sudah lama. Dari tahun 2011 kalau gak salah. Gimana rasanya, enak ya yag menthol? Haha.

      Delete
  3. Gugup ya cees? Sempet tukeran nomor WA nggak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak. Sebenernya mau sih, tapi hapeku dulu nokia. Dia Android.

      Delete
  4. Setelah membaca tulisan ini, entah kenapa pengetahuanku akan harga rokok seakan bertambah lengkap.

    Duh kasihan banget itu teteh terpaksa jadi pekesja ehem komersial, memang ya alasan ekonomi selalu saja jadi alasan klasik. Kemiskinan seolah menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip, awas jangan sampai lupa, Mas Fan hihi

      Waduh kalau masalah itu saya kurang ngerti. Tapi katanya sih iya, gara-gara ekonomi.

      Delete
  5. smoker sejati, semua harga rokok dikasih tau di postingan ini
    etapii... ceesku, kak son, agia, sebenarnya kudu dipangil apa nih?

    si teteh cantik banget ya, btw?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Panggil apa aja gak jadi masalah, Lus. Tapi kawan-kawanku sih sering manggil Son atau Agia.

      Si Teteh memang cantik. Begitu pun dengan Teteh-teteh lainnya.

      Delete
  6. Dua anak jalanan kena
    Si boy y salah satunya?
    .

    ReplyDelete
  7. BHAHAKK. INI MOMEN NYA KEKNYA AGAK CANGGUNG YA SON. GILA.

    "Besok siangnya, saat saya lagi sibuk nge-print dokumen, seorang petugas polisi masuk ke ruangan kami. Kedatangannya sontak membuat saya meraba saku celana. Maklum, refleks. Kebiasaan ditilang anjis." Paling lucu dsini. Spertinya smua orang juga pernah ngelakuain secara tidak sadar.

    Dan, iya. Saya makin penasaran percakapan apa yg terjadi selanjutnya antara leleki fantastis agia dengan perempuan pekerja keras itu. Setelah si lelaki fantastis down dan jatuh dirokok. Hahahahh.

    Sran dari saya. Klo kmu gk mau dikalah sama perempuan itu jngan ngisep rokok juga son. Ambil bubuk tepung trus isap didepan nya. Setelah itu "tunjukkan permainan nya"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, canggung pisan cees.

      Haha iya kayaknya, ditilang maksudnya? Atau meraba saku celana?

      Ya ampun udah 3 menit, tapi tetep saya belum bisa mencerna maksud dari "Tunjukkan permainannya"-mu itu, Rey.

      Delete
  8. BHAAAAKS! Seru ya jadi mahasiswa Sosiologi, Agia. Jadi mupeng deh, terjun langsung berinteraksi sama orang-orang yang ditangani Dinas Sosial. Aaaaaaak! Itu apaan juga bajingak. Tiap Tapi Bukan Aku disebut, aku sontak ngakak. Bahahahahaha.

    Nggg.... sebenarnya kalau seorang perempuan lagi nangis mencurahkan beban hidupnya, dia nggak terlalu butuh solusi. Yang dia butuhin itu didengerin dengan penuh perhatian dan dibikin ketawa, Agia. Jadi, yang udah kamu lakukan ke pekerja 'ehem' sosial itu benar. Kamu pria perkasa!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi dulu aku kebanyakan disuruh ngetik/ngeprint, Cha :(

      Yes, akhirnya ada wanita yang nyebut aku pria perkasa. Yeaaah! Eh minta foto SD kamu dong 8-)

      Delete
  9. itu mba nya sekarang dimana heh... dah pulang? ehem

    ReplyDelete
  10. 1. Maneh PPL atau jadi babu?
    2. Pas dengerin curhat si teteh ehemm itu, doi duduknya sambil ngangkang atau gimana?
    3. Habis curhat si teteh gak dibawa pulang ke rumah kontrakan?
    4. Selama proses curhat si otong amankan?

    Lalu kabur. Sebelum ditimpuk rokok menyan. Huwakakakaakkaakkakakaakakakakakkkk

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1. Jadi babu.
      2. Sambil merem, jijik mungkin.
      3. TIDAK.
      4. Alhamdulillah aman.

      Lalu ngejar sambil bawa rokok menyan.
      Huwakakakaakkaakkakakaakakakakakkkk

      Delete
  11. Eman cees cewek gelis cuman diajak ngobrol. Nggak ada selfie atau tukaran apa gitu? Yg gue makaud tukaran wa atau line.

    Bandung mah kebanyak pekerja 'itu' nya pasti cantik ya. Wahh ke bandung ahh, ........../beli rokok ehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya enggaklah, Ican soleh. Hape dia samsung canggih. Hapeku nokia 2700.

      Ha ha ayo sini ke Bandung kalau mau liat pekerja 'itu'-nya.

      Delete
  12. ini jaman kapan cees? pasti sudah lama sekali, soalnya sampoerna kretek sekarang harganya 11ribu, di cerita masih 8500. Besar kemungkinan ini pengalaman 5 tahun lalu ya cees?

    aduh, gue baca komennya iksan langsung gagal fokus. Isi kepala gue udah disalurkan sama iksan. Nuhun kang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dong cees, ini kan cerita tahun 2013, tiga tahun lalu hihi

      Sama kaya si Ican, pengen lihat pekerja 'itu'-nya? Sami-sami, kang.

      Delete
  13. wakkkkkakak.
    gia, itu mbaknya kamu apain? udah safety belom mainnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak diapa-apain, Ben. Lagian percuma, kalau iya pun, dianya pasti gak mau...

      Delete
  14. Sebuah tulisan yang mengandung nilai-nilai sosial, ceesku.

    Kalau berhadapan dengan si teteh jenis kayak gitu, memang nggak mempan dinasihati. Bagusnya mungkin dibimbing dan dikenalkan ke hal-hal baru, misalnya diikutkan kursus menjahit (konon cukup berhasil menurut Amel Alvi).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nilai sosial dari mananya, Akaaaaaaaaang?! Ha ha.

      Anjis, barusan nyari di Google, Amel Alvi, ternyata artis seksi... Akang Rido telah menyesatkanku ;-(

      Delete
  15. anjis, udah kayak smoker lu son. Itu kenapa gak lu sikat aja tuh mba-mbanya.

    ReplyDelete
  16. Yaelah, lu tanya dong, tarifnya berapa sekali main, kalo booking semalem berapa, kalo main kuat berapa jam, semalem pernah main sama berapa cowok. Yang kreatip dong kamu nak.

    Sekalian nanya: saya boleh nyoba nggak neng?


    HAHAHAHA

    ReplyDelete
    Replies
    1. HA HA HA HA, aku sudah bisa menebak niat busukmu itu, Riza! Aku tidak akan bergeming!

      Delete
  17. “Saya sudah gak punya apa-apa lagi, Kang. Sekarang saya ........ ”
    "saya hamil bang...kamu ayah biologis anak ini...hiks..."

    (kirain endingnya bakalan kek gitu)

    wuahahahahahaha *jahat

    tapi agia msh aja bisa ngelucu di saat kondisi kek gitu...
    Kasihan ya si tetehnya :(
    Moga sekarang dia dpt pekerjaan halal yg layak. Bukan lagi pekerja "ehem" komersial. Amin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha ha ha bagus juga tapi kalau dibelokin gitu.

      Iya, untungnya beliau baik dan ketawa pas aku bercandain. Iya, amin :)

      Delete
  18. Wawasanku akan harga rokok meningkat setelah baca ini. Makasih fantastis Agia. Hehe :)

    Itu tapi setelah dianuin biasanya dibalikin apa gimana sih si tetehnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh tentu saja, itu adalah pengetahuan yang paling dibutuhakan masyarakat. Haha.

      Direhab dulu di panti sosial, Di.

      Delete
  19. akhirnya bisa baca cerpennya soni lagi
    kemana aja son, lama gak update :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah makasih sudah mau-maunya baca. Tapi ini bukan cerpen, Teh :)

      Saya ada kok, cuman sekarang gak sesering dulu update blognya.

      Delete
  20. Bentar... bentar...
    Faktor ekonomi bisa membuat orang menjalani pekerjaan yang tidak halal.
    Rokok harga Rp. 8.500,00 mencerminkan ekonomi kelas bawah. Jangan-jangan suatu saat nanti Bu Ecih ketemu sama kamu dengan situasi yang berbeda.

    Bu Ecih jadi motivator.
    Agia Aprilian orang yang akan diceramahi.

    Tapi Agia Aprilian cantik gak? kalau gak jangan maksa jadi pekerja gituan ya. Soalnya percuma.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anjir aku baru sadar, ternyata masuk akal juga. Ha ha ha #Meringis #AgiaGakKuatLagi #MenjalaniHidup #DanBacaKomentarIni

      Delete
  21. Hmmm kaos dan poster bolelah ngerock, tapi hati tetep mellow ya denger lagu kerispatih
    Njirrr kupikir suara yg ditskuti kaum pria adalah banci, ternyata wanita tuna susila ya gi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suara tangisan, Teh, tangisan. Itu selalu membuat kami kikuk :)

      Delete
  22. Agia, saya pengen ngerasain pengalamanmu deh. Itu teteh, nggak punya apa lagi Gia? keluarga? atau apa?
    Tolong kudu tahan ya ngadepin cewek cantik.
    Kadang ada orang yang pengen didengerin aja saat dia curhat, nggak perlu panjang lebar dinasehatin. Empatinya emang mesti lebih besar. Semoga dia berubah menjadi baik ya. Saya doain Ya Allah.
    Btw, saya lho waktu kecil ampe SMA pengen nyoba naik mobil tahanan, seperti katamu ada sensasinya...hahaha, sensasi apa coba, nebelin muka iya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha iya, mungkin kalau yang ngalaminnya perempuan mah gak akan sepelik ini masalahnya. Iya amin, semoga :)

      Eh sensasinya mengagumkan, Teh. Coba deh, niscaya berkah.

      Delete
  23. Wah....baca ini berasa lagi di warungnya Mak Jur....
    #rokok mana rokok???!!!

    Sedikit share juga nih ceesku...
    Saya punya tetangga cewek yang kebetulan juga jumlahnya ada 2..rupa2 warnanya.

    mereka jd pekerja ehem kayak teteh tadi. Dan alasan mereka spt itu ya karena jerat kemiskinan...

    Memang sih kerjaan lain sebenarnya banyak. Tapi ndak tahu kenapa, kok mereka pd pilih jalur itu :)

    kamu tahu kenapa?
    #ayolah sosiolog ku..jawab pertanyaanku itu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Kang. Saya ngerti maksud pertanyaan ini. Tapi sulit untuk dijawab. Mungkin saya harus coba berada di posisi mereka agar tahu persoalan utamanya hihi

      Delete
  24. penambahan keterangan harga rokok, iya itu gooood, jadi terasa lucu agia..... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow kemana aja nih Diar, jarang kelihatan. Salam buat warga Sumedang 8-)

      Delete
  25. Huaahahahaahahahahahaaaa. Gak kebayang teh, si Gia nyeramahin si teteh diatas. Gia harusnya bilang, "teh gimana kalo jadi blogger aja, lumayan pendapatannya mah, apalagi kalo tulisannya viral, teteh nulis cerita hidup teteh aja, udah pasti viral.." Eh kasian juga tapi si tetehnya yaaa, ceritain dong Gia di postingan selanjutnya, kenapa si teteh memilih kerja seperti ituuu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha ha mungkin nanti akan saya coba ceritakan, Teh Dian.

      Delete
  26. eumm.. aku mau komentar tentang rokok aja, enak juga pas baca ini sambil sambil merokok.
    harga rokok sekarang udah naik, sedikit.
    si Teteh gak diajak selfie gitu,
    anjay rokokke sampoerna mild menthol.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha bacanya sambil ngerokok, Di? Mantep ceesku ini.

      Delete
  27. Whooohhhh, warbiasa mas pengalamannyaaa... :)

    ReplyDelete
  28. Dear Sonagia sang pria fantastis, terkadang perempuan hanya butuh didengarkan saat menangis. So you (might) doing a right thing :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga saja memang benar, Teh Indi. Hehehe.

      Delete
  29. Aaah...kurang banyak. Terus ending si Teteh gimana? Penasaraaaaan. Meuni karunya geulis geulis...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha udah terlalu panjang, Teh. Takut ngebosenin. Nanti Insya Allah saya lanjutkan.

      Delete
  30. Aduhhh, Cees-ku! Itu kenapa segala bawa-bawa harga rokok, sih? Bangkhe!

    Sumpah, saya gak bisa bayangin kalo jadi kamu, Gia. Entahlah pasti akan aneh kalo saya nanya-nanya sama pekerja "ehm" komersial. Bukannya bener, dia malah makin rusak. :(

    Ya, saking gak adanya keterampilan. Fisik dan harga diri pun dijual. Menyedihkan.

    ReplyDelete
  31. Note: sebelum komentar ini muncul, Harag rokok sudah naik.

    Masalah ekonomi menjadi alasan. Yg pasti karna awalnya kebutuhan yg butuh pisan, luka-luka jadi kebiasaan. Da kumaha deui atuh, teu cape teuing mereun gawe na. :')

    Terus si teteh di ajak kamana? Ari$(_-$)kdjdl($((_-(#?komentarinitidakdapatdilanjutakankarenamengandungpermintaannomorhpsiteteh

    ReplyDelete