• • •
Untuk Ateng Zaelani—
Sosok yang memberitahuku
bahwa naga tidaklah ada
lalu menuntunku menuju sarangnya.
• • •


Dibonceng naik sepeda.

Waktu saya masih kecil, Bapak sering mengajak saya main ke sekolahnya. Setiap pagi beliau akan menarik saya dari kasur, memandikan saya hingga bersih, lalu menunggu selagi Mamah memakaikan saya baju. Lengkap dengan celana, tentu saja.

Setelah saya didandani rapi, Bapak yang berada di luar akan berteriak memanggil saya, jarinya menepuk stang sepeda. “Hayu siap, jang?!”

Saya pun akan bergegas menghampiri beliau, tak menghiraukan bedak dua ons yang menempel di muka. “Siap, Pak!”

Itulah potret klasik antara saya dan Bapak, di mana kami menyusuri jalan selama kurang lebih setengah jam, menuju kampung tempat beliau mengajar.

Seperti sebagian guru kala itu, Bapak belum punya motor untuk pergi bekerja. Saya tidak tahu pasti apakah beliau belum mampu membelinya, karena sejauh yang saya ingat kami tidak pernah hidup melarat. Sederhana, tapi serba berkecukupan. Mengingat Bapak sudah PNS sejak umur 23, saya ingin berasumsi bahwa kecintaannya pada sepeda-lah yang membuatnya urung berganti kendaraan.

Toh itu bukan hal penting. Bagi saya, bersepeda bersama Bapak adalah aktivitas paling menyenangkan yang saya rasakan saat itu; menjadi bocah lugu yang duduk manis menyamping, dengan pantat di atas batang besi, mendengarkan suara goesan yang dikayuh oleh sang ayah. Satu dari banyak nostalgia yang bakal saya hargai sepanjang saya hidup.

Meski begitu, kegiatan dibonceng ini tidak seluruhnya menyimpan kenangan manis. Satu hari, saya dan Bapak pernah mengalami kecelakaan. Saya ingat betul kejadiannya. Kami nyaris jatuh terpelanting, disebabkan seorang anak yang tiba-tiba lari menyeberang jalan. Untungnya, bapak lebih dulu menekan rem sebelum hal buruk dapat terjadi. Saya menangis keras, sementara si anak malah tersenyum dan terus berlari dengan polosnya.

Saya menengok ke arah Bapak, merengek makin kencang begitu melihat ada goresan di punggung tangannya. Beliau merangkak mendekati saya, memeriksa kalau-kalau saya terluka, lalu berkata dengan suaranya yang mengerang:

“Jang, jang. Teu kunanaon, jang? Aya nu nyeri? Cik Bapak ninggal.”


Beberapa bulan lalu, saya coba ungkit insiden tersebut pada Bapak. Kami sedang duduk nonton TV, beliau baru saya antar pipis ke kamar mandi. Seperti sering terjadi belakangan, malam itu gejala susah tidurnya kembali kambuh.

Dan seperti saya duga, beliau ingat persis kejadian itu, bahkan lebih detail dari apa yang saya ingat.

“Di Bojong Pulus, payuneun tukang surabi,” kata dia. Bicaranya gagap—gejala lain yang beliau alami sejak setahun lalu.

Namun ada satu fakta yang saya rahasiakan dari Bapak. Beliau tidak tahu, dan tidak saya beritahu, bahwa pada saat saya menangis, tidak ada yang saya pikirkan selain dari goresan luka dan darah yang tampak di punggung tangannya.

Memori lain yang masih terkenang tentang Bapak terjadi di sebuah pesantren, di kawasan Cicalengka.

Mengingat keluarga besar kami punya latar belakang agama yang kuat, menyekolahkan anak-anak di pesantren merupakan tradisi yang terbilang natural, tak terkecuali di keluarga Bapak. Beliau selalu menekankan betapa pentingnya bagi seseorang, terlebih keturunannya, untuk menempa ajaran islam sebaik-baiknya.

Saya pun menurut tanpa protes. Tapi sebelum saya pergi mondok, ada satu permohonan yang saya minta dari Bapak, yaitu untuk selalu mengirimkan saya Soccer, tabloid bola yang rutin saya baca sejak kelas tiga SD.

Saya awalnya tidak yakin beliau mau menyetujui syarat konyol ini, Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika saya sudah di asrama, saya malah tidak ingat lagi soal permintaan itu. Terlalu banyak distraksi yang terjadi di pesantren: ekskul, teman-teman baru, menyuci dan menyetrika baju, cari muka di depan santriah.

Tapi tidak dengan Bapak.

Dia ingat. Dia tidak menyepelekan permintaan anaknya—permintaan konyol anaknya.

Setiap Sabtu siang, beliau akan mengunjungi komplek Mahad Husainiyah. Dengan perlahan ia mengemudikan motornya, mengucap salam pada setiap guru yang ia temui, lalu turun dengan rona khas yang tidak dimiliki siapa pun selain dirinya: kalem dan ceria.

Adakalanya Bapak datang ketika saya sedang ada kelas. Jika situasinya demikian, saya biasanya akan menyela guru dan meminta ijin keluar, dengan alasan bahwa mustahil pelajaran Imla lebih berguna ketimbang baca bola.

Saya lantas buru-buru menghampiri Bapak—bukan karena ingin cepat kembali ke kelas, melainkan hasrat yang tidak terbendung untuk segera menjemput edisi terbaru Soccer.

“Mana, Pak? Aya?” kata saya menjulurkan tangan (kadang-kadang lidah).

Tanpa banyak kata, beliau menurunkan sleting jaketnya secara perlahan, kemudian dirogohnya sebuah benda yang tampak tidak asing. Benda yang sudah memenuhi kepala saya sejak dimulainya mapel Imla.

Tidak sampai semenit saya membolak-balik halaman koran itu, tiba-tiba saya merasa ada satu colekan di perut. Saat saya tengok, Bapak menatap saya, berkata sambil mengeluarkan setengah tawa: “Jug geura ka kelas deui! Éra atuh ku guru.”

Ia tidak ingin anaknya bolos, walau cuma perkara Imla.


Masih di malam yang sama, saya pun coba mengungkit kenangan ini. Bapak masih ingat, tentu saja, bahkan mengaku harus keliling jalan jika kios langganannya sudah kehabisan tabloid yang saya minta.

“Tepikeun ka numpuk éta koran di bumi,” katanya terbata-bata, menyinggung kebiasaan saya yang tak pernah membuang koran bekas.

Dan lagi, seperti insiden sepeda, saya menyembunyikan satu fakta yang tak pernah saya bocorkan kepada beliau.

Perlu saya katakan, Bapak bukan orang yang punya minat lebih di bidang olahraga. Sejauh yang saya ketahui, beliau hanya menonton badminton atau bola jika kebetulan sedang duduk di depan televisi.

Sementara itu, bertahun-tahun ke belakang, ada seorang santri di Pamoyanan yang setiap harinya tak pernah membicarakan apa-apa kecuali sepakbola. Ia sering kali dikerumuni santri lainnya, yang haus informasi terkait berita selain Persib.

Di saat teman asramanya membahas Ridwan Barkaoui, anak ini sudah fasih menjabarkan bagaimana Total Football, diarsiteki Rinus Michels dan Johan Cruyff, sempat menggemparkan dunia dengan gaya mainnya yang elegan dan menawan.

Tapi sekali lagi Bapak tak tahu menahu, tidak pernah diberitahu, bahwa berkat jasanya mengantarkan koran selama hampir empat tahun, dan meluangkan waktunya setiap minggu untuk mampir ke asrama, beliau tanpa sadar berhasil menjadikan anak ini sebagai santri paling paham bola se-pesantren Husainiyah.

Dan sungguh betapa menyesal saya tak pernah mengatakannya.

Separah-parahnya kondisi Bapak, tak sedikit pun terlintas bahwa obrolan malam itu akan jadi obrolan terakhir yang kami lakukan secara intim.

Sulit melihatnya terbaring di ranjang itu.

Berat tubuhnya kian menyusut. Ayah saya tidak pernah kurus seumur hidupnya, namun belakangan pipinya jadi cekung, pun dengan kulit di bawah lehernya yang mulai mengendur. Bahkan kedua lengannya, yang selalu tampak kekar sejauh yang saya ingat, kini tampak kecil tak berisi.

Kami—anak-anaknya—akan duduk di sisi beliau, mengamati selang oksigen yang terikat menutupi hidungnya. Sebuah benda panjang dilengkapi tombol untuk memanggil perawat diletakkan di atas ranjang. Keberadaan benda-benda kecil ini sungguh bikin hati saya pilu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana dan sebesar apa sakit yang dirasakan beliau.

Tapi selalu ia berusaha untuk tersenyum.

Bapak akan tersenyum saat Mamah dan Teteh mengajaknya bercanda. Atau ketika cucu kesayangannya menyapa lewat video call. Ia bahkan masih bisa tertawa tiap kali saya bergurau layaknya bocah sekolahan.

Di hari-hari kelam itu, selagi saya membantunya ke posisi duduk, atau saat saya mengantarnya ke tempat berobat alternatif, saya sempat berpikir betapa aneh menolongnya secara fisik. Di mata saya, Bapak adalah orang yang kuat. Ia memiliki ketangguhan yang telah mendarah daging sejak saya masih kecil. Dan saat ketangguhan ini hilang, saya merasa dunia ini begitu janggal, seolah ada penyimpangan serius yang terjadi pada hukum alam.

Namun, setelah menimbang lagi, ada masa di mana untuk pertama kalinya saya mengerti, bahwa bukan ketangguhannya yang membuat saya kagum pada beliau.

Saya sadar bahwa saya menyayangi Bapak dengan alasan sama seperti ibu dan kakak-kakak saya menyayanginya, yaitu karena semangat hidup, kasih sayang, serta kebaikan hati yang tak ada kaitannya sama sekali dengan kekuatan fisik.


Ayah saya adalah sosok yang lebih besar dari kehidupan itu sendiri. Ia selalu ingin terlibat dalam apa pun, terutama jika melibatkan kompetensinya dalam memecahkan masalah.

Bapak sejak dulu punya keterampilan yang tidak dimiliki keluarga kami. Bukan berlebihan jika saya berkata bahwa beliau ahli di berbagai bidang, atau yang sering disebut Mamah ‘si tukang sagala bisa’.

Beliau punya tangan yang andal dalam merancang dan memperbaiki sesuatu. Saya ingat begitu telatennya Bapak membuat akuarium dengan tangannya sendiri, memperbaiki mesin cuci dalam lima menit, hingga menjadi ahli otomotif sepulangnya ia mengajar. Dalam banyak kasus, keahliannya ini saya pikir lahir dari bawaannya yang selalu ingin belajar.

Tapi di balik itu, ada satu kualitas yang patut dikagumi dari beliau. Ia selalu menggunakan keahlian serba bisanya ini untuk maksud yang jauh lebih mulia: untuk menolong orang-orang. Mungkin ironis mengatakan ini, tapi ayah saya punya sifat yang senang direpotkan. Ia selalu jadi orang pertama yang muncul manakala kerabat atau tetangganya tengah dalam kesulitan.

Hampir setiap saya dan Bapak bepergian, misal saat berangkat ke sekolah melewati Desa Linggar, pasti ada saja kenalannya yang tiba-tiba menyetop kami di jalan. Saya lalu akan mendengarkan bagaimana orang-orang ini mengeluh soal kompor mereka yang rusak, atau pompa air yang katanya sudah tak berfungsi.

Beliau tak pernah sekali pun menolak permohonan mereka, bahkan ketika dirinya sedang punya urusan mendesak. Terus terang saja, sikap Bapak ini tak jarang bikin saya jengkel, apalagi dengan perangai saya yang cenderung tak sabaran.

“Ulah sok dilalaworakeun, jang. Kudu silih tulung ka batur téh,” pesan beliau selalu. Saya pun akan tersenyum dan mengangguk—lebih karena telah diberi uang oleh orang yang Bapak tolong.

Barangkali inilah kenapa, dengan sifatnya yang penuh kasih ini, ada satu karakteristik lain yang secara alamiah menyertai kepribadian Bapak.

Ia sangat, sangat tidak suka merepotkan orang.

Kepada siapa pun.

Tidak kepada tetangganya.

Tidak, bahkan, kepada anak-anaknya.

Dan terus terang lagi, sikap tak mau ditolongnya ini tak jarang bikin saya jengkel, terutama dalam situasi di mana beliau sendiri pun tahu bahwa dia, betapapun keras kepalanya, harus dan mau tak mau harus ditolong.

Ini tidak adil. Tidak adil bagi saya ketika pada suatu hari, Bapak minta maaf, berulang-ulang kali, hanya karena telah menyuruh anaknya memasang tabung elpiji.

Bapak Ateng Zaelani, ayah saya ini, adalah orang yang pernah menangis setelah terpaksa menyuruh anaknya, mengetahui tangan dan kakinya tak lagi berfungsi normal, untuk pergi memperpanjang STNK.

Percuma menjelaskan padanya bahwa saya sama sekali tidak keberatan, bahwa bukan perkara dosa jika orangtua meminta tolong kepada anaknya.

Tapi begitulah Bapak. Ia seperti tak sudi membiarkan siapa pun menganggapnya tak berdaya. Menganggapnya lemah. Menganggap bahwa terkadang beliau memang butuh pertolongan.

Dan saat saya berdiri di samping tempat tidurnya, saya marah atas ketidakbecusan saya untuk melakukan sesuatu.

Bahkan hingga menjelang akhir hayatnya.

Alangkah mengejutkannya realitas, sampai-sampai dapat kita rasakan secara raga. Satu waktu kita tak sanggup menerimanya, berpikir bahwa tak ada cara untuk meredam pukulan itu. Bahkan saat terkesiap dari cobaan, kita meyakinkan diri bahwa semua ini—melepaskan seseorang yang kita cintai—adalah proses dan bagian alami dari kehidupan.

Satu-satunya yang dapat kita lakukan, dan harus kita lakukan, adalah merasakan rasa sakit.

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, kondisi Bapak mendadak goyah di satu pagi. Beliau sudah tak mampu bergerak. Matanya terbuka, menatap kosong ke atas.

Kami sekeluarga berkumpul di sana, bergantian memanggil beliau dengan usaha yang percuma.

Saya diam terpatung.

Mustahil, batin saya. Mustahil.

Berjam-berjam berlalu. Seorang perempuan dengan penampilan relijius tiba-tiba sudah berdiri di samping saya. Ia menyuruh kami untuk bertauhid di telinga Bapak.

Saya masih diam terpatung.

Mustahil, batin saya.

Mamah dan kedua kakak saya tak henti-hentinya mengucap Laa ilaaha illallah. Saya tidak ikutan. Tidak ingin. Belum saatnya. Belum sekarang. Saya ingin dia berjuang lebih lama, lebih keras.

Saya hampiri Bapak. Tangannya luar biasa pucat saat saya pegang. Napasnya tak konsisten, garis-garis nyeri menghilang dari wajahnya.

Pak, ieu anak Bapak, Agia.

Pak, ieu anak Bapak, Agia.

Dokter kemudian tiba dan mulai memindai. Dia menatap tajam ke sebuah layar, menghadap jauh dari kami. Wajahnya saya lihat berkerut khawatir. Cukup lama dokter itu diam, sebelum akhirnya menoleh ke arah kami dan berkata dengan sangat pelan: “Detak jantungnya udah gak ada.”

Saya merasa ada hantaman yang menekan dada saya. Mengoyak.

Mamah mencondongkan tubuhnya ke depan. Suaranya melengking dengan nada berbeda—suara rapuh seorang gadis muda. “Innalillahi, Bapak. Innalillahi, Bapak.”

Saya mendengar suara Aa dan Teteh, terisak.

Saya takkan lupa tangisan kami di siang itu: melayang bagai arus udara, terhempas gelombang pasang dan membanjiri kami dalam emosi.

Saya kembali meremas tangan Bapak.

Pak, ieu anak Bapak, Agia.

Persis di momen itu, sebuah kenyataan timbul seketika.

Melintas dan nyaring berteriak.

Dengan kelembutannya yang khas, kematian benar-benar mengguncang kami.

Kematian selalu mengejutkan, tak peduli seberapapun ia diharapkan. Mustahil untuk hidup dengan kesadaran penuh akan dekatnya kematian. Ia memang tak bisa dihindari, tapi toh tetap sulit bagi kita untuk sepenuhnya siap.

Kami sudah bergantung pada Bapak sejak lama. Beliau kami andalkan untuk menggantung rak-rak di posisi yang kami inginkan, merekatkan potongan guci yang pecah, atau memperbaiki kabel TV yang tidak berfungsi.

Selama berpuluh-puluh tahun, kami telah bergantung padanya untuk memulihkan apa yang mesti dipulihkan. Tapi sekarang, siapa yang harus kami andalkan dalam urusan ini? Bagaimanapun, bukan lubang ventilasi yang saat ini sedang rusak, melainkan lubang yang tiba-tiba masuk ke dalam hidup kami. Lubang yang gelap, lombong dan menganga.


Bapak kami semayamkan di kampung halamannya Linggar—kampung kami tercinta. Saya tahu bagaimana signifikannya tempat ini bagi beliau. Lingkungan tempatnya tumbuh; rumah di mana keluarga dan kawan-kawannya berada. Tempat yang sering Bapak dan saya lalui ketika berangkat ke sekolah.

Para pelayat satu persatu berdatangan ke rumah duka. Kebanyakan dari mereka bergerombol: tetangga, kerabat, kolega. Beberapa menghampiri saya dan mengaku sebagai sahabat masa kecil Bapak, bekas murid, hingga temannya semasa PLPG—wajah-wajah yang sebagian besar tidak saya kenal, atau sudah lupa. 

Begitu banyak orang dan begitu banyak belasungkawa. Tidak sedikit pelayat yang menawarkan kenangan mereka, menghasilkan semacam hiruk-pikuk mengenai siapa dan seperti apa sosok Ateng Zaelani.

Ada satu guru muda yang saya lihat menangis tersengguk-sengguk. Ia berkali-kali memuji betapa baiknya beliau selama menjadi Kepala Sekolah.

Guru SD saya, Ibu Isoh, yang juga kolega Bapak di tempatnya dulu mengajar, mengatakan pernah diberi kompor gas oleh beliau ketika keluarganya belum mampu membeli. 

“Moal hariwang, jalma soleh da Bapak mah,” begitulah pandangan mereka mengenai Bapak. Dan saya percaya itu. Ada semacam ikatan tak biasa antara saya dan orang-orang ini—semacam warisan yang ditinggal oleh sosok yang telah memberi kami sesuatu, besar maupun kecil, dan itu entah bagaimana, membuat segalanya terasa lebih rumit.

Ketika saya berdiri mengamati para pelayat, saya tak kuasa menahan pikiran bahwa dari semua kerumunan ini, mungkin sayalah orang yang paling sedikit menaruh respek pada almarhum Bapak.


Di antara ketiga anaknya, saya tak malu mengakui bahwa saya bukan bibit paling baik.

Saya dan Bapak sering berseberangan. Beragam argumen—keras dan konyol—selalu terjadi ketika saya diberi nasihat. Tak terhitung berapa kali saya melawan, terlebih saat beranjak dewasa, di mana sifat tegas beliau sedikit demi sedikit berangsur lebih melunak. Di masa ini jugalah beliau mulai berhenti memanggil saya “Ujang”. Sebaliknya, sikap penurut yang selalu beliau tanam kepada anaknya sedari kecil, lambat laun berubah menjadi sifat yang cenderung berontak dan membangkang.

Yang saya maksud pun bukan semata argumen cerdas. Pernah satu hari, saya menentang ajakan sholat beliau dengan dalih bahwa muslim, menurut pandangan ulama, tidak diperbolehkan sholat sebelum adzan selesai (sangat keliru). Bukan cuma itu, kami bahkan pernah berdebat mengenai hakikat mahasiswa yang tidak wajib melapor kepada orangtuanya jika jarang pulang ke rumah.

Seiring kepergian Bapak, saya menyadari ada banyak ruang untuk penyesalan dan rasa bersalah. Menyesali apa yang dikatakan atau tidak dikatakan, yang dilakukan maupun tidak dilakukan. Saya menyalahkan diri saya, karena tidak mengambil kesempatan untuk berkata bahwa saya menyesal atas segala kesalahan yang saya perbuat kepadanya.

Dan seiring kepergian beliau, ada bagian dalam diri saya yang pada akhirnya merasa sendirian—dan mungkin untuk selamanya. Bahkan ketika hubungan kami tegang, ia selalu berperan sebagai tameng pribadi saya. Sebagai Wali. Sebagai sekutu terbesar Agia. Bahkan ketika saya mengecewakan beliau, saya tetap merasa aman karena mengetahui bahwa pria ini akan rela melakukan apa saja demi anak-anaknya. Demi keluarganya.

Namun sekarang, saya sadar semua itu telah tiada.

Sebelum Bapak pergi, saya tak pernah menyangka bahwa orang meninggal akan terus berpengaruh dalam kehidupan mereka yang ditinggal. Di masa yang serba naif itu, saya masih berasumsi bahwa hidup itu masuk akal, bahwa alam semesta sudah ada yang mengatur. Saya belum menyadari seberapa berharganya kehidupan yang kita jalani.

Dan akibat ketidaksiapan ini, saya seolah dipaksa untuk melangkah dan berjalan di hutan belantara.

Mungkin kesadaran inilah yang menyebabkan meluapnya air mata akibat kehilangan—perasaan sedih luar biasa yang muncul ketika mengetahui bahwa hidup ternyata sulit, berat dan melelahkan.

Tapi kita perlu terus berjalan, lagi dan lagi, melakukan yang terbaik sebisa mungkin ketika hidup datang dan berantakan, didorong oleh hal-hal baik yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berduka.

Ada satu hal yang saya banggakan dari hubungan saya dan Bapak, yaitu selera humor kami yang mirip. Bapak punya karunia besar untuk membuat orang tertawa. Saya ingat bagaimana dia sering bercanda di depan murid-muridnya di sekolah.

Anaknya sendiri pun bahkan tak luput dijadikan bahan lelucon.

Pernah satu waktu, beliau berkomentar soal jenggot dan cambang saya yang sudah lama tak dicukur. “Gitar mana, Bang Rhoma? Judiiii!” kata dia.

Sontak saya langsung bengong. Tangan saya gemetar bukan main. Ini kekalahan terbesar selama saya hidup. Percayalah, disebut mirip penyanyi usia 70 oleh ayah yang belum menginjak 60 adalah pengalaman paling memalukan bagi seorang anak.

Ada lagi. Saat itu saya baru pulang belanja dari minimarket. Bapak kemudian bertanya barang apa saja yang saya beli dari sana. Saya pun kasih lihat dia, dan langsung diketawai habis-habisan. Saya bingung, lalu bertanya di mana letak lucunya.

“Ha ha percuma meulian nu kitu gé, ari kabogoh tara boga,” kata beliau.

Dan konon semenjak itu, pria bernama Agia ini tak pernah lagi membeli produk Biore Men White. Atau sabun apa pun.

Adakalanya giliran saya yang bertindak jahil.

Di malam sebelum ia wafat, Bapak terus-terusan mengeluh sesak napas. Kondisinya saat itu memang agak drop, tapi ia bersikeras ingin duduk, meski perawat berkali-kali melarangnya. Akhirnya, karena tak tega, Teteh menyuruh saya untuk membangungkan beliau. Saya angkat tubuh Bapak perlahan, menyenderkan kepalanya ke dada saya.

Sembari saya peluk, saya usap-usap rambutnya yang penuh uban itu. 

“Pak,” kata saya.

“Hmmm.” jawabnya.

“Iraha rambut badé di-mohek? Urang pikok beureum sakalian.”

Orang mungkin akan menganggap lelucon saya ini tidak sensitif, atau bukan pada tempatnya. Tapi saya berani jamin, ini jenis banyolan yang paling Bapak sukai. Saya yakin beliau akan tertawa. Dia akan tertawa dan geleng-geleng, jika saja beliau sehat dan tidak mengidap strok bajingan ini.


Menengok ke belakang, saya sadar banyak hal dari saya yang membuat Bapak kecewa—meski tak pernah ia sampaikan langsung. Begitu banyak harapan-harapan beliau yang gagal saya penuhi, seperti tidak PNS, tidak S2, tidak sholat tepat waktu, tidak becus soal perkusenan.

Di antara semua itu, ada satu yang berulang kali Bapak amanahkan kepada saya—yang juga belum saya indahkan. Beliau punya keinginan agar kelak anak bungsunya bisa mengajar di pesantren Husainiyah. Tanpa mengharap bayaran pula. Pro bono, jang.

“Loba hutang budi keluarga urang mah, ka guru-guru di ditu,” ujarnya satu hari.

Saya tidak bertanya lebih lanjut dari mana “utang budi” ini berasal, namun toh tidak susah untuk menebaknya. Sebab di tempat inilah, selama hampir dua belas tahun, beliau menitipkan kedua anak laki-lakinya, saya dan kakak saya Faisal, untuk dididik dengan basis akhlakul karimah.

Adalah satu kebanggaan, saya pikir, menyekolahkan keturunannya di lingkungan dengan kualitas dan visi-misi yang sesuai secara religius. Beliau berusaha menjalankan sebaik mungkin tanggung jawabnya selaku orangtua. Sebuah keputusan yang saya akui memang tepat—meski jika melihat hasil, hanya satu anak saja yamg lulus dengan membawa akhlak mulia, dan tentu saja itu bukan saya.

Mendengar permintaan yang cukup serius itu, saya hanya bisa merespons dengan ketawa, saking tidak percayanya. Tentu bukan soal bayaran, tapi lebih karena…

“Moal kuat nahan tensi, ah,” kata saya lempeng. “Hayoh kalahka nyabokan jelma.”

Sengaja tidak saya sebutkan bahwa sebenarnya ada faktor lain yang membuat saya tidak cocok mengajar, yakni catatan ‘mentereng’ saya selama mondok di sana: tujuh kali dicukur botak (merokok), manipulasi nilai rapot, hingga menantang kelahi ustadz muda asal Jepara. 

“Nyabokan saha? Murid?” kata Bapak, menggeleng heran.

“Nya, murid. Jeung ortu-ortuna gé kétang.”

“Ku pohara ari manéh, nya.”

Lantas apa selanjutnya?

Ada hidup yang mesti dijalani, sesuatu yang harus dilakukan.

Siklus hidup tidak berakhir dengan kematian. Ia terus berputar, memberi kita kesempatan untuk meninjau kembali hubungan yang telah tiada, hingga melahirkan perspektif maupun wawasan baru.

Kita semua punya memori tentang orang yang kita cintai, yang kita simpan dengan hati-hati, yang sewaktu-waktu akan memanggil dan mengingatkan kita bahwa mereka masih ada.

Kini, yang dapat saya lakukan hanyalah meyakinkan diri bahwa dengan cara mengenang ini, saya bisa berdamai atas apa yang terjadi. Sederet kenangan yang saya rasa patut dijaga—juga dibanggakan—agar kelak tetap hidup.

Perasaan berkabung mungkin akan hilang pada akhirnya, dan semoga saja, deretan kenangan ini akan berkumpul menjadi hiasan-hiasan, di mana sedih dan bahagia, terang dan gelap, menciptakan sebuah akhir yang menawan.

Mudah-mudahan.

Orang sering kali bilang, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan yang kosong, kalau boleh saya jujur. Meski demikian, saya sudah membuat janji pada diri saya sendiri. Saya bertekad ingin membalas segala jasa Bapak. Tidak seberapa, memang, saya hanya mampu menawarkan apa yang sejak dulu Bapak tawarkan kepada kami: menjaga orang tercinta.

Untuk itulah, saya akan berusaha sebaik mungkin menjaga Mamah dan Teteh, menjaga Bi Lia dan keponakan saya Gania, juga keponakan-keponakan Bapak, termasuk seluruh kerabat besar yang dulu beliau lindungi.

Saya ingin berpikir bahwa ada cahaya istimewa yang muncul pasca kepergian Bapak. Saya berharap, dalam arti yang lebih dalam, beliau tidak kemana-mana.

Dia sudah menjadi bagian dari kami.

Sama seperti Bapak, saya bukan orang yang percaya pada hal mistis. Tapi terkadang saya merasa diawasi oleh beliau, yang terus berteriak memanggil, terutama saat saya berbaring malas-malasan.

Agia.

Ujang Agia.

Agia.

Tos sholat acan?

Geura atuh! Lain nyoo hape!


Muhun, Pak!

Teu acan.

Ieu nembé badé.

• • •
Tenang selalu di sana, Pak.
Tiada nian perkara dunia.
Insya Allah kami percaya,
Di Tangan paling amanlah
Bapak Guru kini berada.
• • 

8 KOMENTAR

Blogku adalah kebebasanmu. Dipersilakan kepada para agen judi untuk berkomentar selincah-lincahnya.
SONAGIA.COMSONAGIA.COM

  1. Lama enggak update blog, sekalinya ada tulisan baru, isinya betul-betul sentimentil begini. Obituari yang sungguh mantep, Ce'es.

    Hubungan saya dan ayah saya sampai hari ini termasuk berjarak, meski saya sendiri udah berusaha mengikisnya pelan-pelan. Nah, sehabis baca kisah sepeda dan bonceng menyamping di depan itu, saya rasanya diingatkan lagi bahwa pernah ada masa di mana saya dan Ayah begitu dekat. Momen menggembirakan itu rasanya kudu dikenang sampai kapan pun, demi mengingatkan saya tentang masa-masa bahagia, apalagi ketika di dalam diri saya mulai timbul rasa jengkel atau malah benci tiap kali capek dengar nasihatnya dan khususnya yang bawa-bawa ayat. Meski saya paham maksudnya baik, cuma problem cara penyampaiannya itu yang bikin malas. Syukur banget sekarang udah bisa lebih rileks dalam menanggapi. Adu argumennya enggak separah dulu awal-awal baru kepala 2.

    Saya enggak tahu apakah sebagian anak laki ini begitu memasuki masa remaja memang sengaja menjauh dari sosok ayahnya biar tampak mandiri, atau karena kemauan si ayah berbeda dengan pilihan anak dan otomatis hal semacam itu bikin hubungan mereka renggang, atau ada hal lain. Namun, saya selalu merasa kesulitan buat akrab lagi, minimal kayak zaman dulu SD. Jarak yang udah tercipta di antara kami ini seakan-akan jauh banget. Waktu ayah saya sempat masuk rumah sakit 3 tahunan lalu, itu saya mulai merenung dan berusaha memperbaiki hubungan kami lantaran takut semuanya terlambat. Sialnya, sampai hari ini kok masih belum signifikan juga usaha saya. Bahkan kondisi pandemi yang bikin keluarga sering di rumah, kayak belum mendukung juga buat mengembalikan kehamornisan yang dulu ada. Semoga sih saya masih punya waktu buat mewujudkan niat baik itu.

    Terkait soal sifat ayahmu, yang berusaha menolong orang lain duluan (apa yang saya lakuin ini jelas enggak sebanding dengan pertolongan beliau yang serba bisa), sementara diri sendiri justru enggan merepotkan orang lain, termasuk buat minta bantuan sama keluarga sendiri, secara enggak langsung ada miripnya dengan saya. Saya pun heran kenapa begini. Baguslah belakangan suka diingetin, sah-sah aja lho minta tolong, khususnya ke keluarga sendiri yang mestinya tak perlu sungkan.

    Aduh, saya ngapa jadi ngetik panjang begini ya. Haha.

    Yah, terakhir mungkin cuma mau bilang, jasa ayahmu sebagai guru itu jelas bermanfaat banget bagi banyak orang. Dari apa yang saya pelajari, amalan yang enggak akan putus kan salah satunya itu. Karena ilmunya terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Saya pun percaya Bapak Guru berada di tempat terbaik.

    Makasih, Ce'es, udah bikin tulisan ini.

    ReplyDelete
  2. Inalillahi pak Ateng Zaelani, sing ditampi iman islamna, kangge Agia sareng keluarga sing dipasihan kasabaran, aamiin.

    Jadi inget abi sareng Bapak jarang pisan ngobrol, kadang sok ngarasa sedih ari dipikir mah, tapi duka kunaon cigah eleh ku gengsi duh... Tos baca ieu jadi mikir dua kali lipat keur kahareupna kudu manfaatkan waktu keur keluarga.

    Tetap semangat ce'es Agia, ges tenang Pak Atep mah di surga, aamiin.

    ReplyDelete
  3. allohummaghfirlahu pa ateng. insha Allah husnul khootimah, anak anak anjeun saroleh solehah insha Allah

    ReplyDelete
  4. Terimakasih Agia sudah menulis tentang bapak dengan manis untuk mengenang beliau semasa hidup. Sebuah tulisan sentimentil untuk proses mengikhlaskan kehilangan.

    Rasanya kehilangan memang brengsek, sebuah proses yang pasti tapi ternyata bisa bikin porak poranda manusia dengan segala jenis sok kuatnya itu. Tenang, insyallah waktu bantu untuk menyembuhkan segala perasaan pasca kehilangan.

    Selanjutnya, tetap semangat ya Agia. Masih ada janji untuk menjaga ring 1 untuk ditepati. Insyallah bapak akan bangga sama anak anaknya yang saling menjaga di Surga sana.

    ReplyDelete
  5. Tetap semangat ya agia ,smg allah swt sllu memberikan kesehatan dan kekuatan ,ulah nangis wae ya jang agia ....😭

    ReplyDelete
  6. Sing kuat jang, dang ia akan selalu jadi anak bi ia selamanya

    ReplyDelete
  7. Banyak pelajaran dari peristiwa demi peristiwa, hikmahnya selalu kita dapatkan manakala org yg kita cintai telah tiada.
    Kami menjadi saksi atas kebaikan beliau. Semoga keramahan dan kebaikannya bisa menular pd anak keturunannya.

    Banjir air mata membacanya...Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu

    ReplyDelete